Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Tidak Boleh Didamaikan

Menteri PPPA tak sepakat kasus damai ini masih terjadi

Denpasar, IDN Times – Dalam 1,5 tahun belakangan ini banyak mencuat pemberitaan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di Indonesia. Kendati fenomena gunung es terhadap kasus ini mulai mencair (banyak yang terungkap), namun faktanya di lapangan, ada beberapa kasus berujung kesepakatan damai antara korban, dan pelaku.

Menteri Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (PPPA) Republik Indonesia, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, tidak menyetujui jika kasus kekerasan perempuan dan anak didamaikan. Sebab menurutnya, tujuan pemberian efek jera kepada pelaku tidak tercapai. Hal ini disampaikan setelah membuka acara Roadshow PHI ke-95 di Provinsi Bali, yang diselenggarakan di Gedung Dharma Negara Alaya (DNA Art & Creative Hub Denpasar), Senin (18/12/2023).

Baca Juga: Fokus Pencegahan Kekerasan, Prima Medika Dapat Penghargaan

1. Kasus kekerasan perempuan, dan anak tidak boleh didamaikan

Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Tidak Boleh DidamaikanIDN Times/Nathan Manaloe

Bintang mengungkapkan ketidaksetujuannya jika kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta kasus kekerasan seksual didamaikan. Menurutnya, perdamaian kasus kekerasan perempuan dan anak ini tidak terlepas dari peran budaya. Ia mengakui, perdamaian di beberapa daerah telah melibatkan tokoh agama, dan tokoh adat.

“Kalau kami dengan teman APH memang kami mengarahkan untuk memberikan efek jera. Kalau terus kasus itu damai-damai, biasanya beberapa kasus kan, ini tidak terlepas dari faktor budaya ya. Kami pasti mengarahkan kasus ini tetap diproses,” ungkapnya.

Solusi yang ditempuh saat ini adalah pelatihan terintegrasi dengan Aparat Penegak Hukum (APH). Agar semua pihak yang bertanggung jawab memiliki kacamata yang sama dalam menangani setiap kasus. Sehingga tertangani dengan baik, cepat, dan tuntas. Begitu juga pentingnya pendampingan di akar rumput berkaitan dengan hal ini.

“Jangan nanti dari pihak kepolisian B, ini C. Kayak begitu kan. Kita punya komitmen bersama. Inilah yang juga kami kembangkan,” jelasnya.

2. Kesadaran untuk melaporkan kekerasan perempuan dan anak mulai meningkat

Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Tidak Boleh DidamaikanIlustrasi KDRT. (IDN Times/Sukma Shakti)

Pihak kementerian telah melakukan survei pengalaman hidup perempuan nasional, dan survei nasional pengalaman hidup pada tahun 2021 lalu. Rencananya akan diulang kembali pada tahun 2024. Dari hasil yang didapatkan, angka prevalensi kekerasan menurun.

Sementara dalam 1,5 tahun belakangan ini, ia merasa tiada hari tanpa pemberitaan kekerasan. Ia menduga, hal ini terjadi karena dampak dari media sosial (medsos), dan masyarakat sudah merasa bahwa kekerasan yang terjadi di dalam keluarga bukan lagi aib. Sehingga ada keberanian melaporkan tindak pidana tersebut.

“Secara prevalensi kekerasan itu menurun. Semakin banyak kasus terlaporkan, kita akan memberikan keadilan kepada korban, dan efek jera kepada pelaku,” katanya.

3. Negara hadir memberikan pendampingan hukum kekerasan seksual

Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Tidak Boleh DidamaikanIlustrasi kekerasan (Pexels.com/Karolina Grabowska)

Bintang bercerita, setidaknya memerlukan 10 tahun untuk memperjuangkan terbentuknya undang-undang (UU) terkait tindak pidana kekerasan seksual. Yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022, yang ia harapkan akan diimplementasikan, dan bisa memberikan pendampingan terbaik kepada korban. Menurutnya, dalam UU ini, kasus kekerasan perempuan dan anak dengan satu alat bukti tetap bisa diproses.

“Apalagi untuk kasus kekerasan seksual kita sudah punya payung hukum. Yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” terangnya.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya