JAAN Soroti Perdagangan Monyet Ekor Panjang di Pasar Satria Denpasar

BKSDA Bali mengaku sulit pantau aktivitas perdagangan satwa

Denpasar, IDN Times – Belum lama ini Jakarta Animal Aid Network (JAAN) mengecam aktivitas penjualan bayi monyet ekor panjang di Pasar Burung Satria, Kota Denpasar. Pernyataan tersebut disampaikan dalam press rilis tertanggal 24 September 2021.

Menurut JAAN, meski statusnya tidak dilindungi, akan tetapi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tetap tidak layak dijadikan hewan peliharaan. Alasan yang mendasari pernyataan tersebut di antaranya:

  • Monyet ekor panjang merupakan spesies primata yang sangat sosial, hidup berkelompok, dan cerdas
  • Jika dipelihara, dapat meningkatkan risiko penularan penyakit dari hewan ke manusia maupun sebaliknya (zoonosis). Semisal penyakti TBC, rabies, dan virus lainnya
  • Kondisi hewan yang stres dan trauma dapat mengakibatkan serangan gigitan terhadap manusia
  • Praktik perdagangan monyet ekor panjang ini jelas melanggar prinsip-prinsip kesejahteraan hewan.

Bagaimana selama ini alur perdagangan satwa ini dan bagaimana tanggapan dari pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali? 

Baca Juga: Dikritik Pelihara Owa Siamang, Bupati Badung Giri Prasta Minta Maaf 

1. Penjualan bayi monyet di pasar burung masih marak diduga karena banyak peminatnya

JAAN Soroti Perdagangan Monyet Ekor Panjang di Pasar Satria DenpasarKondisi kera ekor panjang di Pasar Burung Satria Denpasar. (Dok. IDN Times / JAAN)

Pendiri JAAN Divisi Satwa Liar, Femke den Haas, mengatakan penjualan bayi monyet di pasar burung masih marak diduga karena banyak peminatnya dengan dalih rasa kasihan. Menurutnya cara tersebut tetap salah karena justru akan melanggengkan perdagangan satwa liar. Selain itu, dipicu pula dengan adanya kecenderungan menjadikan monyet sebagai konten media sosial.

JAAN mengatakan sudah banyak menyelamatkan monyet sampai tidak ada lagi tempat penampungan. Terbaru, ada sekitar 36 ekor bayi monyet yang berhasil disita oleh pihak berwenang dan diselamatkan dalam perjalanan menuju Pulau Jawa dan Bali. Monyet tersebut kemudian difasilitasi rehabilitasi satwa milik JAAN di Sumatera.

2. Monyet ekor panjang didatangkan dari Sumatra hampir setiap bulan

JAAN Soroti Perdagangan Monyet Ekor Panjang di Pasar Satria DenpasarKondisi kera ekor panjang di Pasar Burung Satria Denpasar. (Dok. IDN Times / JAAN)

Menurut Femke,  masyarakat Hindu Bali sangat menghormati keberadaan monyet-monyet ekor panjang. Contohnya di Sangeh, Monkey Forest, Uluwatu, Alas Kedaton, dan Pura Pulaki. Namun praktik perdagangan dan pemeliharan monyet-monyet ini juga masih terjadi di Bali.

“Kami berharap pemerintah Bali melalu Dinas Peternakan, Pemerintah Kota Denpasar, dan tentunya Balai Karantina Denpasar dapat menghentikan perdagangan monyet ekor panjang di pasar burung,” ungkapnya.

Tempat yang memperdagangkan hewan ini adalah di Pasar Burung Satria, Denpasar. Monyet ini didatangkan dari Sumatra hampir setiap bulan. Aktivitas ini, ia ungkapkan, jelas melanggar beberapa peraturan, di antaranya:

  • Memasukkan Hewan Penular Rabies (HPR) ke dalam Pulau Bali, mengacu pada Keputusan Menteri Pertanian RI No.1696/2008, tentang larangan memasukkan anjing, kucing, kera, dan sebangsanya ke Provinsi Bali
  • Berpotensi besar melanggar KUHP Pasal 302 tentang penyiksaan hewan
  • Berpotensi melanggar UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan
  • Berpotensi melanggar PP No.95 Tahun 2012 tentang kesehatan masyarakat veterniner dan kesejahteraan hewan
  • Melanggar Peraturan Menteri Kehutanan No. P-63/Menhut-II/2013, tentang tata cara pengambilan spesimen tumbuhan dan satwa liar

3. Undang-undang KSDAE tidak bisa diterapkan bagi pelaku perdagangan satwa ini

JAAN Soroti Perdagangan Monyet Ekor Panjang di Pasar Satria DenpasarKondisi kera ekor panjang di Pasar Burung Satria Denpasar. (Dok. IDN Times / JAAN)

Menangpai hal tersebut, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali, R Agus Budi Santosa, menyampaikan bahwa Undang-undang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) tidak bisa diterapkan untuk menghukum pelaku perdagangan satwa ini. Pelaku perdagangan satwa kera ini hanya bisa dikenakan pasal penyiksaan hewan sesuai pasal KUHP. Dengan catatan, apabila jelas terbukti melakukan penyiksaan dan deliknya terpenuhi.

Pihak BKSDA sendiri sulit memantau aktivitas perdagangan satwa ini karena ukuran satwa yang kecil, jinak, dan mudah disembunyikan.

“Satwa ini tidak dilindungi Undang-undang dan cenderung jadi hama apabila populasinya tidak terkontrol,” ungkapnya pada Senin (27/9/2021).

Peredaran satwa ini, ia jelaskan, bisa diatur dengan Peraturan Daerah (Perda) karena merupakan Tipiring dan sanksinya lebih berupa sanksi administrasi.

4. BKSDA sebut monyet ekor panjang populasinya relatif melimpah

JAAN Soroti Perdagangan Monyet Ekor Panjang di Pasar Satria DenpasarKondisi kera ekor panjang di Pasar Burung Satria Denpasar. (Dok. IDN Times / JAAN)

Agus Budi melanjutkan, species kera ini populasinya relatif melimpah karena termasuk mamalia yang sangat mudah survive. Selain itu, juga mudah menyesuaikan diri di lingkungan manusia dan bisa memakan apapun yang dimakan manusia. Mereka produktif berkembang biak seperti manusia. Selain itu juga tidak ada saingan dengan species jenis kera lain dan tidak ada hewan pemangsanya.

Menurutnya, bayi kera abu-abu ini mungkin lebih aman dan sejahtera apabila dipelihara manusia daripada kekurangan pakan dan dibunuh sesama kera di alam liar. Selain itu, ia menilai sangat jarang ditemukan penyiksaan satwa ini di Bali karena banyak yang percaya bahwa kera ini adalah titisan atau keturunan Dewa Hanoman yang patut dihormati.

“Bagi penyayang hewan memang terlihat kasihan. Satwa ini tidak dilindungi UU. Razia satwa kera jenis ini amat tidak efisien serta tidak sebanding antara nilai konservasi dan bobot kesalahan dibanding dengan biaya operasional dan biaya perawatan apabila satwa disita,” tegasnya.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya