Catatan Kegelisahan Perempuan Bali, Tidak Sekuat Laki-laki?

di mana ada kemiskinan, di situ pula ada kekerasan

Denpasar, IDN Times – Sejumlah perempuan Bali mengaku menjadi korban dari ketidakadilan gender, dan ekonomi. Mereka kerap mengalami kekerasan, kemiskinan, hingga ketakutan untuk berumah tangga. Hal tersebut dibahas dalam diskusi yang digagas oleh AKSI for Gender, Social, and Ecological Justice dengan menggandeng Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali Woman Crisis Centre (WCC) di Kota Denpasar beberapa waktu lalu.

Dalam diskusi yang menghadirkan kalangan perempuan lintas komunitas di Bali, dan para pihak terkait terungkap, bahwa perempuan menghadapi tantangan kemiskinan, kekerasan, stigma, hingga persoalan dalam adat, dan budaya. Meski begitu, mereka diharapkan tidak takut dengan adat, dan budayanya sendiri, walau pada kenyataannya kedudukan perempuan tidak sekuat pihak laki-laki.

Baca Juga: Beban Kerja Perempuan Bali di Kala Hujan, Berlipat Ganda

1. Lansia di Bali perlu mendapatkan dukungan perlakuan kesehatan, baik yang masih sehat maupun jatuh sakit

Catatan Kegelisahan Perempuan Bali, Tidak Sekuat Laki-laki?Diskusi perempuan lintas komunitas terkait ketidakadilan gender, dan ekonomi di Bali (IDN Times/Ayu Afria)

Direktur LBH BWCC, Ni Nengah Budawati, memaparkan faktanya sepanjang menangani kasus yang fokus pada perempuan, dan anak. Dari catatannya, ada ketidakadilan gender yang terjadi di Bali. Misalnya kekerasan berbasis perempuan, isu penting layanan kesehatan, dan jaminan sosial bagi lansia di Bali.

“Yang membuat kami terkejut, isu keberadaan lansia terkait jaminan kesehatan, dan sosial lainnya,” ungkap Budawati.

Akses layanan kesehatan terhadap lansia ini juga diungkapkan oleh Ni Nyoman Ria Konitri. Pendamping sekaligus perawat lansia dan lansia Alzheimer di Bali ini mengungkapkan fakta, bahwa ada perlakuan berbeda dari masyarakat terhadap para lansia yang sehat dan sakit. Dari pengamatannya, lansia yang sehat cenderung mendapatkan dukungan, dan perlakuan baik dari masyarakat. Begitu juga pihak pemerintah yang memberikan support dalam dunia kesehatan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), sehingga mereka dapat akses mudah dalam pemeriksaan kesehatan.

Namun berbeda perlakuannya ketika ada lansia yang sakit. Keberadaan mereka dianggap sebagai beban bagi keluarganya. Konitri berharap masyarakat ada kemauan untuk merawat lansia tersebut.

“Untuk lansia yang sakit, ini yang menjadi masalah. Kenapa saya bisa bilang masalah? Karena ringan atau berat itu pasti akan membebani keluarga. Karena saya mempunyai pengalaman 15 tahun merawat orangtua Alzheimer,” terangnya.

2. Perempuan muda Bali juga ingin mendapatkan dukungan dalam berkarier, dan berintelektual

Catatan Kegelisahan Perempuan Bali, Tidak Sekuat Laki-laki?foto hanya ilustrasi (IDN Times/Irma Yudistirani)

Situasi sekarang yang terekam di Bali adalah munculnya kegelisahan tentang kedudukan perempuan dalam sudut padang hukum, adat, budaya, dan agama. Termasuk perlindungan ketika mereka bekerja atau berkarier. Banyak anak perempuan yang sulit memutuskan apakah nantinya mereka akan menikah, atau tidak. Hal ini berkaitan dengan potensi tercabutnya kebebasan, dan potensi kerja setelah keluar dari rumah asalnya.

Banyak dari mereka mempertanyakan apakah rumah yang baru, dalam hal ini keluarga dari suami, akan mendukung sepenuhnya keputusan perempuan untuk bekerja, memperlihatkan intelektual, serta kreativitasnya yang kemudian dikaitkan pula dengan urusan adat, agama, dan budaya.

“Semua akan selesai jika dalam keluarga pola asuh itu baik-baik saja. Kami berharap bagaimana ke depan, kami memastikan anak-anak kita menjadi orangtua yang sangat kita harapkan. Tidak mengulang kesejarahan kita,” ungkap Budawati.

Perwakilan Komunitas Teratai, Ida Ayu Komang Karmelisa, juga berharap LBH saat ini bersedia untuk membantu menyosialisaikan kepada orangtua, dan masyarakat bahwa memiliki anak disabilitas bukan hal yang merugi. Mereka membutuhkan pola asuh yang baik.

“Harapan saya bahwa tindak lanjut dari LBH untuk membantu meyosialisaikan ke orangtua, ke masyarakat bahwa memiliki anak disabilitas bukan hal yang rugi,” kata Melisa.

3. Perempuan Bali diminta tidak takut dengan adat

Catatan Kegelisahan Perempuan Bali, Tidak Sekuat Laki-laki?Diskusi perempuan lintas komunitas terkait ketidakadilan gender, dan ekonomi di Bali (IDN Times/Ayu Afria)

Seorang tokoh adat perempuan, pelukis perempuan, sekaligus pemangku, Mangku Muriati, mengatakan anggapan perempuan Bali tidak mendapatkan kesetaraan gender tidaklah benar. Hal ini ia kaitkan dengan sikap perempuan Bali yang enggan tampil, sehingga memperluas kesempatan bagi pihak laki-laki dalam berbagai hal. Namun faktanya, berdasarkan pengalaman pribadi, ia dipercaya sebagai pemangku.

Sistem patrilineal di Bali memang mengenal sebuah konsep, bahwa kuasa ada di pihak purusa (laki-laki), bukan pada pradana (perempuan). Kedua sistem ini tidak bisa dipisahkan ataupun dihilangkan, karena saling berkaitan dalam adat di Bali. Namun di satu sisi, ia juga membenarkan dalam hal-hal tertentu, keterlibatan perempuan Bali tidak ada di dalam sistem tersebut. Misalnya dalam kegiatan paruman adat (rapat adat). Meski begitu ia meminta agar perempuan Bali tidak perlu takut dengan adat, dan budayanya.

“Perempuan Bali itu tidak benar kalau dianggap ada ketimpangan, atau tidak ada kesetaraan gender. Sebenarnya itu sudah ada secara tidak nyata. Semua itu, dalam konsep itu adalah dua hal berbeda namun tetap bersatu. Itu akan selalu ada. Jadi purusa pradana pasti ada,” terangnya.

4. Ketika ada kemiskinan, pasti juga ada kekerasan, dan perempuan Bali sangat berisiko menjadi korbannya

Catatan Kegelisahan Perempuan Bali, Tidak Sekuat Laki-laki?Diskusi perempuan lintas komunitas terkait ketidakadilan gender, dan ekonomi di Bali (IDN Times/Ayu Afria)

Perwakilan AKSI for Gender, Social, and Ecological Justice, Risma Umar, menyatakan kemiskinan yang dialami para perempuan di Bali masih ada, dan kondisi ini terjadi di berbagai situasi. Kemiskinan ini berkaitan erat dengan persoalan kekerasan terhadap perempuan.

“Kekerasan kepada perempuan itu selain karena kultur, juga budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat. Itu ada karena faktor keluarga, atau kondisi kemiskinan. Kemiskinan yang terjadi di keluarga, dipastikan kekerasan kepada perempuan meningkat,” ungkapnya.

Perempuan di Bali juga kian menghadapi tantangan berat. Mereka dianggap bukan sebagai pengambil keputusan. Mereka juga harus menghadapi stigma-stigma dari masyarakat tentang perempuan yang bekerja hingga larut malam, hingga jam kerja dan pendapatan mereka tidak sebesar laki-laki.

Dari uraian penjelasan di atas, gimana menurut pendapatmu? Silakan berikan pendapatmu di kolom komentar ya.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya