Agus mengisahkan awal mula praktik pijat refleksinya. (IDN Times/Yuko Utami)
Sebelum membuka praktik pijat di Denpasar, Agus membersamai usaha praktik pijat sang ayah di Kabupaten Gianyar pada tahun 2015. Teori dan praktik memijat yang baik dan benar didapatkan Agus dari ayah serta bangku sekolah. Selepas lulus kuliah, Agus mencoba peruntungan dari hobinya memijat dengan membuka praktik pijat di Denpasar.
Praktik pijatnya dibuka tahun 2017, momen itu beriringan saat Agus diterima sebagai guru honorer di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) 1 Denpasar. Gajinya sebagai guru honorer saat itu hanya Rp300-400 ribu per bulan. Besaran upah yang tak seberapa itu juga menjadi motivasinya untuk membuka praktik pijat.
Ingin berkembang bersama dengan penyandang tuna netra lainnya, Agus mencari terapis tuna netra lainnya. Karena kesungguhannya agar tidak mengecewakan pelanggan, Agus harus mencoba sendiri tekanan pijat para terapis.
“Karena saya diawali dari hobi, dipijat, jadi saya harus mencoba dulu. Apakah tekanannya tepat, kemudian power-nya bagaimana,” ujar Agus saat ditemui pada Senin, 30 Desember 2024.
Melalui percobaan itu, kini ada tiga terapis tambahan dengan formasi satu laki-laki dan dua terapis perempuan. Totalnya ada empat orang terapis, termasuk Agus. Ketika merasakan kekuatan dan tekanan pijatnya tepat, lalu terapis sopan santun, Agus segera merekrut.
“Dulu terapis kita sudah dapat pelatihan ada lulusan SLBN 1 Denpasar dan PSBN Mahatmia,” jelas Agus.
Agus dan terapis laki-laki lainnya bernama Diki, dalam kondisi buta total. Sedangkan dya terapis perempuan, Novi dan Eka, dalam kondisi pengelihatan low vision.
“Saya gak berani menempatkan terapis asal comot. Keunggulan kita kualitas meskipun tempatnya sederhana. Pasien kita dari Kota Denpasar, luar kota juga Tababan, Buleleng, Gianyar,” kata dia.