Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Anak Muda Bali Ungkap Dampak Gonta-Gantinya Kurikulum Pendidikan

WhatsApp Image 2025-07-09 at 14.20.21 (2).jpeg
Siswa Sekolah Rakyat Muhammad Glensky (13) di asrama Sentra Handayani Jakarta Timur (IDN Times Dini Suciatiningrum)

Denpasar, IDN Times - Memaknai Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh pada 23 Juli 2023, seorang Gen Z asal Kota Denpasar, Praba Putri Mahadewi (19), mengingatkan pentingnya perlindungan anak saat ini. Menurutnya, anak-anak harus mendapatkan pendidikan yang layak, dan diberikan perlindungan dari segala aspek kehidupan. Ungkapan tersebut juga untuk merespon dunia pendidikan Indonesia yang kerap disuguhi gonta-gantinya kurikulum pendidikan.

"Semoga pendidikan di Indonesia lebih baik lagi untuk anak-anak negeri ini, dan dapat memberdayakan anak-anak sesuai dengan kebutuhannya," ungkapnya.

Sebagai anak muda, Praba mengeluhkan kurikulum pembelajaran yang sering diganti-ganti. Ia merasakan kurikulum atau kebijakan yang kerap gonta-ganti malah merugikan pelajar sendiri. Kebijakan ini lebih mempersulit anak-anak dalam pembelajaran karena mereka harus beradaptasi dengan kebijakan tersebut. Mereka juga kesulitan untuk memilih cara belajar sesuai dengan kebutuhannya. Selain itu, mereka juga kadang harus mengeluarkan biaya yang cukup banyak untuk membuat sebuah projek P5, Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila.

"Kebetulan kurikulum Merdeka diberlakukan pada saat saya duduk di bangku SMA. Pada saat itu yang merasakan kebijakan kurikulum merdeka adalah adik kelas saya," terangnya.

1. Pemerintah harus penuhi hak-hak anak Indonesia

WhatsApp Image 2025-07-09 at 10.37.54 (2).jpeg
Simulasi Sekolah Rakyat di Sentra Handayani Bampu Apus, Jakarta Timur, Rabu (9/7/2025) (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Putu Gede Bharta Bagus Astika (16) ingin menjadi seorang anak yang kuat, mengingat peringatan HAN menurutnya diciptakan karena anak-anak masih lemah. Hal tersebut bisa dilihat dari undang-undang yang mengatur akan hak-hak anak. Bahkan hak anak sendiri sudah didapat dari dalam kandungan sang ibu. Harapannya dalam 20 tahun ke depan, seluruh anak di Indonesia bisa mendapatkan semua hak-haknya.

"Saya berharap mulai besok anak-anak bisa mendapatkan semua yang bisa ia dapatkan sesuai dengan porsinya. Tidak ada kasus-kasus yang berkaitan dengan anak-anak, tidak ada kasus-kasus oknum-oknum orangtua yang seenaknya kepada anak, dan tidak ada kasus-kasus oknum-oknum anak-anak yang seenaknya kepada orangtua," ungkapnya.

Hal ini ia rasakan sendiri dalam dunia pendidikan. Ia kebingungan dengan sistem pendidikan di Indonesia, karena setiap pergantian menteri maka kurikulum pun silih berganti. Perubahan kurikulum dinilai selalu tepat untuk memperbaiki SDM, akan tetapi lupa akan kesiapan SDM itu sendiri.

"Walaupun saya hanya dapat mencicipi Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka, sejatinya saya belum menemukan kurikulum yang cocok dengan style saya," terangnya.

2. Tenaga pendidik harus lebih adaptif

ilustrasi siswa di sekolah (pexels.com/Max Fischer)
ilustrasi siswa di sekolah (pexels.com/Max Fischer)

Senada, Ni Made Gangga Maheswari (17) juga merasakan dampak perubahan kurikulum. Ia banyak mengalami perasaan tidak nyaman ketika belajar, karena pihak tenaga pendidik tidak siap dengan perubahan yang ada sehingga transfer ilmu dianggap tidak maksimal. Selain itu tenaga pendidik masih berfokus pada hasil akhir yang berbentuk makalah, laporan, dan sebagainya. Mereka tidak berfokus pada proses bagaimana anak-anak didiknya berkembang.

"Sejujurnya saya sangat kecewa karena kurikulum Merdeka ini tidak diterapkan dengan maksimal," ungkapnya.

Ia merasa sangat senang dengan kurikulum Merdeka yang menekankan pendidikan karakter di dalamnya, terutama dalam P5. Ia juga merasakan pengalaman belajar tidak hanya dari buku melainkan dengan mengenal tempat wisata sekitar, bermain permainan tradisional, menari sampai dengan memasak dan berwirausaha.

3. Generasi muda berharap banyak lapangan kerja

potret bersama anak sekolah dasar tersenyum dan berpose (pixabay.com/stokpik)
potret bersama anak sekolah dasar tersenyum dan berpose (pixabay.com/stokpik)

Nia (24) mengatakan, anak harus diperhatikan bukan cuma sebagai demografi, tapi juga harus diinvestasikan untuk masa depan dengan pendidikan, kesehatan, dan perlindungan. Kebijakan yang kerap gonta-ganti ia yakini akan berimbas kepada pelajar, misalnya saja saat adanya perubahan kebijakan nilai Ujian Nasional (UN), bukan jadi penentu kelulusan.

"Harapannya sebagai anak semoga lapangan pekerjaan semakin banyak dan harga properti terjaga, UMR naik. Harapan untuk anak-anak, perlindungan dan pendidikan bisa lebih diperhatikan, dan merata tanpa diskriminasi," terangnya.

Sementra itu Ni Komang Hinda Purnama Sari (17) menganggap HAN merupakan momen penting dalam kehidupan. Ini juga merupakan kegiatan untuk anak-anak meningkatkan kesadaran dan pentingnya pendidikan anak. Ia berharap ke depannya sistem pendidikan lebih stabil agar siswa mudah untuk menyesuaikan diri serta dapat mengembangkan bakat mereka di bidang masing-masing.

"Sebagai anak yang masih bersekolah saya merasakan perubahan kurikulum yang dapat berdampak negatif karena siswa merasa tidak stabil dan sulit menyesuaikan diri," tegasnya.

4. Gen Alpha lebih berfokus kepada keluarga

ilustrasi berangkat sekolah (pexels.com/Alex P)
ilustrasi berangkat sekolah (pexels.com/Alex P)

Sementara itu, beberapa pelajar Gen Alpha di Denpasar belum memiliki rencana spesifik 20 tahun mendatang. Misalnya, seorang pelajar perempuan asal Denpasar, Shabilla (14), menyampaikan bahwa memaknai Hari Anak Nasional (HAN), ia ingin merayakan dengan kasih sayang bersama keluarga dan teman-temannya. Selama jadi pelajar ia mengaku tidak begitu merasakan dampak gonta-gantinya kurikulum.

"Berharap sih ke depan bisa bikin orangtua senang," ungkapnya.

Adik laki-lakinya, Khanza (12), mengungkapkan, juga memiliki rencana untuk 20 tahun mendatang berguna bagi keluarga, agama, dan negara. "Saya memaknainya dengan terus belajar dangan rajin," terangnya.

Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us