Foto hanya ilustrasi. (IDN Times/Irma Yudistirani)
Postingan tersebut kemudian mendapatkan banyak komentar, di antaranya:
“Harus ngaturan guru piduka niki tiyang (saya) sangat percaya dulu paman tiyang pernah menabrak due kera driki ring sangeh keranya meninggal entah dari mana datangnya kera mengambil temannya yang mati nike. Ada dagang di samping disuruh pergi paman tiyang kalau diam di sana mungkin akan di serbu kera yang lain. Terus sandikala ngaturan banten/mecaru di pura alas sari wihhh keranya ganas sekali tidak seperti biasanya. Amor ing acintya duwe ring alas pala sane tertabrak."
“Pengalaman tiyang yang kerja di hutan monyet di Ubud, siapapun yang menabrak monyet secara sengaja atau tidak sengaja, percaya tidak percaya malamnya/ beberapa hari ke depan akan terus di hantui bayang-bayang monyet yang ditabrak sampai si penabrak ini kembali lagi meminta maaf (ngaturang banten permintamaafan), kebetulan di tempat saya ada staff yang mengurusi monyet jika ada yng mati/luka tapi sekalipun mayat monyet sudah dikubur jika si penabrak belum minta maaf hidup dia tidak akan tenang, begitu kira-kira. Dan banyak lagi kejadian di luar nalar, jangankan sampai menabrak berani memukul monyet pun akan mendapat hal-hal yang tidak kita inginkan."
“Dulu orang tua tiyang pernah nabrak merah di sana. Sontak banyak saudara-saudara kerajaan datang menyerang mobil ortu tiyang. Lama saya nunggu, terus tiyang bertanya kepada pemangku di sana. Akhirnya kami membuat semacam upacara."
“Wenara nike sakral juga sebagai peneduh jagat. Jangankan nabrak. Pernah pengalaman, teman tiyang misuh karena pada waktu itu mobil dideketi wenara. Eh kebawa sampai di rumah, mobil masuk garasi. Secara nyata mobil digoyang keras, seakan wenara yang melakukan, langsung bilang nunas sinampure (meminta maaf), eh mobil diam. Niki nyata.”