Lampu di atas meja coklat (pexels.com/Ahmed Aqtai)
Sementara itu, Founder BTI Energy dan Dosen Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas), IGN Erlangga Bayu, menilai elektrifikasi desa menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketimpangan energi nasional. Ia mengapresiasi langkah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, yang meresmikan proyek mikro hidro di Minahasa, Sulawesi Utara sebagai bagian dari program elektrifikasi 100 persen.
“Kalau dibilang mungkin (elektrifikasi mencapai 100 persen), pasti mungkin. Indonesia ini kaya sumber daya matahari, air, angin yang belum maksimal dimanfaatkan. Negara-negara Eropa dengan sinar matahari terbatas saja bisa memanfaatkan tenaga surya. Kita justru punya matahari 12 jam setiap hari,” ujarnya.
Meski begitu, Erlangga menyebut listrik di daerah tidak bisa sepenuhnya tergantung dari EBT, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) karena sifatnya intermittent. Oleh karena itu, ia menilai tetap diperlukan peran PLN sebagai backbone aliran listrik di desa.
"Kalau dibilang EBT harus didorong, saya setuju. Kita memang perlu energi yang minim dampak negatif terhadap lingkungan. Tapi kalau semua harus full EBT, saya rasa agak berat. Kita tetap butuh backbone energi konvensional, seperti PLTU, meskipun porsinya kecil. PLTU atau diesel tetap diperlukan sebagai backup, misalnya ketika matahari tidak bersinar. Tapi porsinya bisa diperkecil, sementara EBT yang diperbanyak," paparnya.