Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Foto hanya ilustrasi. (tunaiku.com)

Perempuan Bali kini sudah semakin maju. Ada yang berhasil menjadi bupati, rektor, pimpinan, pengusaha, dan menguasai berbagai bidang lainnya. Namun perjuangan Kartini Bali belumlah sempurna. Ada permasalahan klasik yang dihadapi setiap perempuan Bali, terutama soal menikah.

Di Bali masih tersisa persoalan pernikahan beda kasta. Perlahan sudah mulai terjadi pergeseran pemikiran masyarakat Bali, yang cenderung tidak lagi memperdebatkan kasta. Akan tetapi, masih ada kok sebagian masyarakat yang masih kukuh mempertahankan pemikiran tentang menikah beda kasta itu.

Di sisi lain, perempuan Bali yang memutuskan untuk hidup sendiri alias tidak menikah juga seringkali mendapat gunjingan. Misalnya dituduh tukang nyinyir bahkan bisa ngeleak atau bisa ilmu hitam.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perempuan Bali Sruti beberapa waktu lalu menggelar diskusi tentang kedudukan Perempuan Bali dalam pernikahan beda kasta dan memilih tidak menikah (Daha Tua), tepatnya saat Hari Kartini pada 21 April. Dari sini diketahui, bagaimanakah kedudukan perempuan dalam kasus-kasus seperti ini?

1. Dalam diskusi tersebut, kedudukan perempuan Bali yang disorot adalah perkawinan nyerod, yakni pernikahan antara perempuan berkasta lebih tinggi dengan laki-laki berkasta rendah

instagram.com/chikajessica88

Pernikahan nyerod merupakan perkawinan dalam masyarakat adat Bali di mana mempelai perempuan berkasta lebih tinggi (Dikelompokkan dalam golongan tri wangsa) dan mempelai laki-laki berkasta lebih rendah (Jaba atau sudra). Nyerod dalam bahasa Bali diartikan sebagai 'terpeleset'. Biasanya pernikahan mereka yang 'terhalang' kasta ini akan memakai cara lari bersama atau kawin lari sebagai solusi.

Ada dua jenis perkawinan nyerod. Pertama, jika pengantin laki-laki berasal dari golongan tri wangsa yakni berkasta ksatria dan waisya, namun mempersunting perempuan dari golongan Brahmana, maka perkawinannya disebut alangkahi karang hulu. Kedua, laki-laki dari golongan sudra wangsa dengan perempuan dari golongan brahmana disebut perkawinan asu pundung.

Sebelum tahun 1951, kedua jenis perkawinan nyerod ini merupakan perkawinan yang dilarang karena melanggar hukum adat Bali. Baru sejak tahun 1951, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali melalui Keputusan Nomor 11 Tahun 1951 mencabut peswara tahun 1910 yang diubah dengan beslit Residen Bali dan Lombok tanggal 13 April 1927 Nomor 532. Isinya bahwa kawin beda kasta sudah dihapuskan, termasuk meniadakan pelaksanaan upacara Patiwangi.

Keputusan tersebut juga didukung oleh Pasamuhan Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) yang menjelaskan, bahwa perkawinan nyerod atau beda wangsa sudah dianggap sebagai perkawinan biasa. Prosesi upacara yang dilakukan seharusnya juga berlangsung dengan normal.

2. Sampai saat ini perkawinan nyerod tidak dilakukan dengan cara meminang. Kedua mempelai harus kawin lari

Editorial Team

Tonton lebih seru di