Ilustrasi mengobrol (pexels.com/alexander-suhorucov)
Perceraian adalah kehilangan yang sangat besar, sama seperti kehilangan orang yang dicintai, dan harus diizinkan untuk berduka. Awalnya, saya menekan semua emosi: rasa marah, kecewa, takut, bahkan rasa bersalah. Saya mencoba bersikap kuat, terutama di depan anak-anak dan keluarga. Namun, penekanan emosi ini justru membuat saya sakit secara fisik dan mental. Saya menyadari bahwa saya tidak bisa melompat dari kesedihan langsung ke kebahagiaan. Saya butuh waktu untuk merasakan rasa sakit itu. Proses yang saya lakukan adalah menetapkan waktu khusus untuk berduka—seperti 30 menit setiap hari—di mana saya bebas menangis, menulis di jurnal tentang semua kemarahan saya, atau mendengarkan lagu sedih. Di luar waktu itu, saya berusaha untuk fokus pada tugas-tugas harian.
Ini bukan tentang melupakan rasa sakit, tetapi tentang mengakui keberadaannya dan membiarkannya berlalu tanpa menguasai setiap detik hidup saya. Saya mulai menggunakan frasa seperti, "Wajar jika saya merasa sakit, karena ini adalah akhir dari sebuah babak penting," untuk memvalidasi perasaan saya. Saya belajar bahwa pemulihan tidak berarti saya harus bahagia setiap saat, tetapi berarti saya harus bisa bergerak maju sambil tetap menghormati semua perasaan yang pernah saya alami dan pelajaran yang didapatkan dari hubungan yang telah berakhir. Proses ini sangat pribadi dan tidak bisa dipercepat; setiap orang memiliki durasi duka yang berbeda-beda, dan saya berkomitmen untuk bersabar pada diri sendiri selama perjalanan ini.