Nasib Petani Garam di Klungkung, Hanya Mengandalkan Terik Matahari

Tinggal tersisa 17 petani dan tiga bulan tak bisa produksi

Klungkung, IDN Times - Mangku Rena (55) berteduh di pesisir Pantai Karangdadi, Desa Kusamba, Kabupaten Klungkung. Sesekali tatapannya menuju ke langit, seakan-akan memastikan tidak turun hujan hari itu, Senin (17/1/2022).

Mangku Rena dan para petani garam lainnya mengeluhkan kondisi cuaca di Klungkung yang kian tidak menentu. Akibatnya, mereka tidak bisa memproduksi garam secara maksimal. Sementara stok garam untuk dijual juga semakin menipis.

Tak hanya itu, mereka harus berhadapan dengan persoalan abrasi yang membuat ladang penggaraman warga terkikis. Petani garam di Kusamba yang kini jumlahnya hanya tinggal 17 orang, pun tidak lagi bisa produktif.

Baca Juga: Andalkan Wisman, Destinasi Kertha Gosa Klungkung Sunyi Selama Pandemik

1. Mangku Rena nyaris tiga bulan tidak bisa membuat garam

Nasib Petani Garam di Klungkung, Hanya Mengandalkan Terik MatahariPetani garam di Klungkung. (IDN Times/Wayan Antara)

Mangku Rena menuturkan dirinya nyaris tiga bulan ini tidak bisa membuat garam karena cuaca yang tidak menentu. Menurutnya, dalam membuat garam tradisional, diperlukan sinar matahari yang sangat terik. Sekalinya hujan, proses pembuatan garam akan gagal.

“Buat garam secara tradisional itu membutuhkan matahari yang sangat terik. Kalau hujan, jadi gagal. Kalau saya, saat cuaca tidak menentu begini, mending tidak buat garam, dari pada rugi tenaga,” ungkap Mangku Rena.

Pada bulan Oktober, Mangku Rena hanya bisa membuat garam selama 10 hari. Lalu bulan November, Desember, dan Januari ini, ia sama sekali tidak bisa membuat garam.

“Sekarang stok untuk dijual juga semakin menipis. Kalau stok habis dan tidak bisa membuat garam, petani garam terpaksa tarik tabungan atau pinjam uang untuk kebutuhan sehari-hari,” ungkapnya.

2. Lahan untuk membuat garam semakin terkikis

Nasib Petani Garam di Klungkung, Hanya Mengandalkan Terik MatahariPetani garam di Klungkung. (IDN Times/Wayan Antara)

Selain hujan, para petani garam di pesisir Karangdadi, Desa Kusamba tengah dirundung masalah abrasi yang mengikis lahan penggaraman warga setempat. Seperti yang diungkapkan seorang petani garam di pesisir Pantai Karangdadi, Nengah Mudra. Abrasi menyebabkan ladang penggaraman miliknya berkurang.

“Abrasi semakin parah. Ladang penggaraman sudah banyak habis (terkikis). Jadi buat garamnya juga berkurang,” ujar Mudra.

Sebelum terkikis abrasi, saat cuaca normal, Nengah Mudra mampu memproduksi sampai 30 kilogram dalam sehari. Namun saat ini, paling banyak hanya bisa produksi 10 kilogram garam perhari. Kondisi ini tentu sangat memberatkan bagi para petani garam.

“Kalau cuaca bagus, paling banyak sekarang bisa buat 10 kilogram. Sudah tidak bisa buat garam banyak lagi karena lahannya juga sudah sedikit,” jelas Mudra.

3. Warga kian meninggalkan pekerjaan sebagai pembuat garam tradisional

Nasib Petani Garam di Klungkung, Hanya Mengandalkan Terik MatahariPetani garam di Klungkung. (IDN Times/Wayan Antara)

Berbagai permasalahan yang dialami para petani garam, membuat warga kian meninggalkan pekerjaan sebagai pembuat garam tradisional. Jumlah petani garam di pesisir Pantai Karangdadi pun kian berkurang.

“Sebelumnya pembuat garam tradisional di sini (Karangdadi) ada puluhan orang. Tapi situasinya seperti ini, tinggal 17 orang petani garam tradisional yang tersisa,” ungkap Mangku Rena.

Ia berharap ada perhatian dari pemerintah, terutama untuk mengatasi abrasi di pesisir Karangdadi. Harapannya, ladang penggaraman warga tidak semakin terkikis dan warga tetap bisa teguh melanjutkan keseharian sebagai pembuat garam tradisional.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya