5 Tips Bijak Menikmati Fashion Tanpa Terjebak Objektifikasi Seksual

Fashion memang bisa jadi ekspresi diri yang menyenangkan. Banyak orang menikmati proses memilih gaya berpakaian yang sesuai kepribadian atau mood hari itu. Tapi di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa dunia fashion juga lekat dengan persoalan obyektifikasi seksual.
Batas antara ekspresi diri dan ekspektasi sosial sering kali kabur. Tak jarang, cara berpakaian malah dijadikan ukuran nilai seseorang, terutama perempuan, tanpa mempertimbangkan konteks personal atau niat dari pemakainya. Objektifikasi seksual bukan cuma soal penilaian terhadap tubuh, tapi juga tentang bagaimana seseorang diringkas hanya menjadi penampilan fisik. Berikut beberapa tips bijak menikmati fashion tanpa terjebak objektifikasi seksual.
1. Kamu perlu mengenali alasan saat memilih gaya berpakaian

Sering kali, seseorang memilih pakaian berdasarkan tren atau ekspektasi lingkungan sekitar. Tapi penting untuk berhenti sejenak dan bertanya apakah pilihan ini benar-benar mencerminkan kepribadian atau hanya agar dianggap menarik? Dengan mengenali alasan di balik keputusan berpakaian, kamu bisa lebih sadar akan tujuan pribadi dan mengurangi tekanan untuk memenuhi standar sosial.
Saat keputusan berpakaian datang dari kesadaran diri, fashion akan terasa lebih menyenangkan dan membebaskan. Pilihanmu jadi bukan alat untuk memenuhi selera publik, melainkan bentuk komunikasi personal yang lebih otentik. Gaya berpakaian bukan sekadar penampilan luar, tapi bisa menjadi bentuk ekspresi nilai, pemikiran, dan kenyamanan yang kamu rasakan sendiri.
2. Lingkungan sosial memengaruhi cara kamu melihat tubuh

Tanpa disadari, cara berpakaian sering kali terbentuk dari komentar orang sekitar. Pujian atau kritik terhadap tubuh dan pakaian bisa memengaruhi keputusan fashion seseorang, bahkan membuatmu merasa harus selalu “menyesuaikan”. Ketika hal tersebut terjadi berulang, lama-lama kamu bisa kehilangan hubungan yang sehat dengan tubuh sendiri dan menjadikan penampilan sebagai beban.
Maka dari itu, penting untuk menyadari pengaruh lingkungan sosial dalam membentuk cara berpikir soal tubuh. Pakaian bukan tanggung jawab untuk menyenangkan mata orang lain. Kalau kamu merasa tidak nyaman karena komentar atau tuntutan eksternal, wajar untuk mengambil jarak dan memberi ruang bagi nilai diri yang lebih sehat.
3. Media populer sering menyempitkan definisi menarik

Banyak representasi fashion di media yang cenderung sempit, baik dari segi bentuk tubuh, warna kulit, maupun gaya pakaian. Hal ini membuat banyak orang merasa tidak cukup atau bahkan “salah” hanya karena tampil beda dari standar ideal tersebut. Objektifikasi seksual pun sering hadir lewat framing visual yang fokus pada bagian tubuh tertentu, bukan pada kepribadian atau aktivitas individu.
Menikmati fashion seharusnya bukan tentang menyesuaikan diri dengan standar yang seragam, tapi memberi ruang untuk keberagaman. Jika kamu merasa tertekan oleh gambaran di media, penting untuk mulai mencari referensi yang lebih inklusif. Banyak kreator dan komunitas yang menawarkan pendekatan berbeda soal fashion lebih manusiawi dan beragam yang bisa jadi sumber inspirasi baru.
4. Pakaian tidak menentukan nilai atau moralitas seseorang

Masih banyak anggapan bahwa cara berpakaian mencerminkan karakter atau moralitas. Tak heran kalau hal ini jadi akar dari objektifikasi seksual, karena tubuh dan penampilan dianggap mewakili hal-hal yang bersifat pribadi. Padahal, tidak ada satu pun gaya berpakaian yang secara otomatis menentukan siapa kamu sebagai individu. Menyederhanakan nilai seseorang dari cara berpakaian justru memperkuat stigma yang tidak adil.
Kamu punya hak untuk mengenakan apa pun yang membuatmu merasa nyaman dan aman. Ketika keputusan berpakaianmu mulai dipenuhi rasa bersalah karena takut dinilai “terlalu terbuka” atau “tidak pantas”, saatnya meninjau ulang sumber rasa takut itu. Fashion seharusnya mendukung identitas, bukan membatasi ruang gerak hanya karena norma yang sempit.
5. Cara kamu menghargai diri memengaruhi gaya berpakaian

Kamu mungkin tidak menyadari bahwa hubunganmu dengan tubuh sangat berperan dalam menentukan cara berpakaian. Ketika seseorang punya cara menghargai diri yang kuat, mereka cenderung berpakaian sesuai apa yang mereka rasa nyaman dan sesuai dengan kepribadian. Tapi kalau kepercayaan diri rendah, pakaian bisa jadi alat untuk menyembunyikan rasa tidak aman atau malah difungsikan untuk menyenangkan orang lain.
Menumbuhkan penghargaan terhadap diri sendiri bukan perkara mudah, tapi bisa dimulai dengan mengenali apa yang membuatmu nyaman. Pilih pakaian yang membuatmu merasa aman, leluasa bergerak, dan tidak tertekan oleh opini eksternal. Ketika kamu melihat tubuhmu sebagai bagian dari diri yang layak dihormati, pilihan fashion pun akan terasa lebih jujur dan membebaskan.
Fashion bisa jadi cara mengekspresikan diri tanpa harus tunduk pada obyektifikasi seksual. Dengan mengenali alasan berpakaian, memahami pengaruh lingkungan, dan menjaga hubungan yang sehat dengan tubuh sendiri, kamu bisa menikmati fashion tanpa merasa terjebak dalam standar semu. Pilihan berpakaianmu sah selama berasal dari kesadaran, bukan paksaan atau ketakutan.
Referensi
"The Objectification of Women in Fashion". Cinco Store. Diakses pada Juli 2025.
"From Attire to Assault: Clothing, Objectification, and De-humanization – A Possible Prelude to Sexual Violence?". Frontiers in Psychology. Diakses pada Juli 2025.
"Clothing choices, weight, and trait self-objectification" Science Direct. Diakses pada Juli 2025.