Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Tanda Kamu Mengizinkan Diri Sendiri Terluka, Stop Merasa Jadi Korban

ilustrasi merasa sedih (pexels.com/Pavel Danilyuk)
ilustrasi merasa sedih (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Seringnya kita berpikir bahwa luka atau trauma datangnya dari luar. Misalnya dari orang lain, situasi, atau masa lalu yang dianggap sebagai penyebab utama dari setiap luka dan sakit hati. Namun, sebenarnya luka muncul karena kita sendiri tidak menjaga batasan pribadi dengan semestinya.

Tanpa sadar, kita bisa membiarkan hal-hal kecil melukai perasaan dari waktu ke waktu. Hal tersebut bukan karena lemah, tetapi karena kita belum terbiasa mengenali dan melindungi diri secara emosional. Berikut lima tanda kita masih sering mengizinkan diri sendiri merasa terluka yang membuat kita seolah menjadi korban.

1. Mengabaikan perasaan demi menyenangkan orang lain

ilustrasi perempuan merasa sedih (pexels.com/Sarah Dietz)
ilustrasi perempuan merasa sedih (pexels.com/Sarah Dietz)

Dalam berbagai situasi, kita lebih memilih diam dan menahan perasaan agar tidak membuat orang lain tidak nyaman. Kita mengorbankan emosi pribadi demi menjaga hubungan tetap baik. Kebiasaan tersebut sejatinya bisa membuat kita merasa tidak layak untuk didengar.

Jika perasaan dalam diri terus-menerus ditekan, kita mulai kehilangan koneksi dengan diri sendiri. Ada perasaan sedih, kecewa, atau marah yang tidak diberi ruang untuk keluar. Akibatnya, luka pun tumbuh dalam diam yang panjang.

2. Bertahan dalam hubungan atau relasi yang terus menyakiti

ilustrasi konflik dalam relasi (pexels.com/Liza Summer)
ilustrasi konflik dalam relasi (pexels.com/Liza Summer)

Meskipun tahu sebuah hubungan membawa rasa sakit, kita sering memilih untuk tetap bertahan. Ada harapan bahwa keadaan akan berubah, meski kenyataannya pola yang sama terus terulang. Kita pun menjadi lelah, namun di sisi lain juga enggan melepaskan.

Bertahan dalam situasi demikian tanpa adanya perlindungan yang jelas akan membuka ruang bagi luka untuk berkembang. Harapan menjadi alasan untuk tetap tinggal, meski batin terus tersakiti. Jika tidak disadari, hal tersebut bisa berubah menjadi trauma yang terus berulang.

3. Tidak pernah membela diri saat disalahkan

ilustrasi tidak membela diri (pexels.com/Liza Summer)
ilustrasi tidak membela diri (pexels.com/Liza Summer)

Saat disalahkan, seringnya kita lebih memilih diam walaupun tahu tidak sepenuhnya keliru. Kebiasaan tersebut dilakukan dengan harapan agar konflik tidak bertambah besar atau demi menjaga hubungan tetap tenang. Namun terkadang, diam tindak selalu menjadi pilihan yang terbaik.

Seiring waktu, kita akan terbiasa memendam emosi dan merasa tidak memiliki suara. Rasa percaya pada diri sendiri pun mulai terkikis secara perlahan. Kondisi tersebut bisa menimbulkan luka batin yang terus tumbuh dalam waktu lama apabila tidak segera diatasi.

 

4. Menyembunyikan emosi dengan beragam alasan

ilustrasi memaksa diri untuk selalu bahagia (pexels.com/Breno Cardoso)
ilustrasi memaksa diri untuk selalu bahagia (pexels.com/Breno Cardoso)

Banyak dari kita memilih menyibukkan diri ketika sedang merasa tidak baik-baik saja. Emosi yang muncul sering kita tutup dengan alasan kelelahan, banyak tanggung jawab, atau ada aktivitas yang tidak kunjung selesai. Padahal, itu hanya cara kita untuk menghindar dari rasa yang sebenarnya.

Saat setiap emosi tidak diberi ruang untuk hadir, maka luka yang kita miliki tidak pernah benar-benar sembuh. Tanpa didasari, kita hanya menunda apa yang sebenarnya perlu diselesaikan. Perlahan, beban perasaan pun semakin berat tanpa kita tahu penyebab pastinya.

5. Terlalu cepat menyalahkan diri saat terjadi hal buruk

ilustrasi menyalahkan diri sendiri (pexels.com/Karolina Grabowska)
ilustrasi menyalahkan diri sendiri (pexels.com/Karolina Grabowska)

Setiap kali sesuatu tidak berjalan sesuai harapan, kita langsung merasa bahwa semuanya adalah kesalahan diri sendiri. Bahkan saat masalahnya tidak sepenuhnya bergantung pada kita, rasa bersalah tetap muncul. Hal demikian bisa menjadi pola yang terbentuk sejak lama.

Jika terus dibiarkan, kita bisa kesulitan membedakan antara tanggung jawab dan beban yang berlebihan. Rasa bersalah yang berulang akan membentuk luka yang dalam. Imbasnya, kita pun menjadi merasa kurang layak untuk berada di fase tenang atau bahagia.

Tanpa disadari, cara kita memperlakukan diri bisa membuka pintu bagi rasa sakit. Terkadang, luka tumbuh dari sikap kita yang membiarkan setiap perasaan dalam diri terabaikan atau tidak dijaga. Menyadari bahwa kita ikut berperan dalam menciptakan luka bukan berarti menyalahkan diri sendiri, justru itu langkah awal untuk pulih dengan lebih bijak.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us