7 Situasi Orang Tanpa Privilege, Harus Bekerja Dua Kali Lipat

Tidak semua orang memulai hidup dari titik yang sama. Beberapa orang lahir dengan akses yang lebih mudah: mudah mengakses pendidikan, mudah mengakses fasilitas yang layak, dan mudah mendapat akses dukungan moral. Sementara itu, ada orang lain yang harus berjuang lebih keras hanya untuk bisa menyamai langkah awal orang lain. Privilege memang bukan kesalahan, tapi menyadari keberadaannya penting agar kita lebih empati terhadap perjuangan orang lain.
Berikut ini tujuh situasi yang menunjukkan betapa orang tanpa privilege sering kali harus bekerja dua kali lipat bahkan lebih, untuk bisa berdiri di titik yang sama dengan orang-orang yang lahir dengan privilege.
1. Saat melamar pekerjaan tanpa rekomendasi atau koneksi

Koneksi atau networking sering jadi privilege yang menentukan langkah karier. Beberapa orang bisa langsung dapat pekerjaan atau kesempatan magang karena dikenalkan oleh keluarga, teman orangtua, atau relasi alumni. Sebaliknya, orang tanpa privilege harus mencari koneksi dari nol.
Mereka harus bersaing dalam sistem yang sudah tidak setara sejak awal. Melamar lewat job portal, mengirim email cold message, ikut ratusan webinar, semua dilakukan sendiri tanpa bantuan. Ketika yang lain dibantu "dibukakan pintu", mereka harus mencari pintunya sendiri, bahkan kadang tanpa tahu ke mana harus mengetuk.
2. Saat ingin kuliah tapi finansial tidak mencukupi

Bagi sebagian orang, melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi seperti kuliah merupakan langkah yang wajar dan nyaris otomatis. Mereka memiliki dukungan finansial penuh dari keluarga, bahkan tak jarang juga mendapat bantuan dalam memilih jurusan, tempat tinggal, atau bahkan akses ke jaringan alumni yang bisa membantu mereka di masa depan. Tidak semua orang bisa menikmati privilege seperti ini.
Sebaliknya, bagi yang tidak memiliki privilege ekonomi, kuliah bisa menjadi perjuangan berat sejak awal. Mereka harus berusaha mendapatkan beasiswa, bekerja paruh waktu, atau bahkan menunda kuliah demi menabung terlebih dahulu. Fokus pun harus terbagi antara menyelesaikan tugas, memenuhi kebutuhan hidup, dan menjaga kesehatan mental yang bisa sewaktu-waktu goyah akibat tekanan finansial.
3. Saat harus membuktikan diri tanpa gelar sebagai alumni sekolah atau kampus favorit

Banyak perusahaan, terutama di Indonesia, masih memandang nama kampus sebagai tiket emas. Orang-orang dari universitas ternama sering kali langsung dianggap lebih kompeten, bahkan sebelum mereka menunjukkan hasil kerja. Sebaliknya, mereka yang berasal dari kampus yang kurang dikenal harus bekerja lebih keras untuk membuktikan kemampuannya.
Tanpa label lulusan kampus top, mereka perlu menunjukkan performa berkali-kali lipat agar bisa mendapat kepercayaan yang sama. Bahkan dalam proses rekrutmen, CV mereka kadang luput dari perhatian hanya karena institusi pendidikan yang dianggap biasa saja. Bagi mereka, skill dan portofolio harus benar-benar kuat agar bisa menembus pintu kesempatan yang sama.
4. Saat menyuarakan pendapat tapi gak punya power

Privilege juga terlihat dari siapa yang didengar dan siapa yang diabaikan. Dalam ruang diskusi atau organisasi, mereka yang punya latar belakang berpengaruh cenderung lebih didengarkan, bahkan saat pendapatnya biasa saja. Sebaliknya, orang tanpa privilege perlu menyampaikan ide dengan cara yang jauh lebih meyakinkan agar bisa dipertimbangkan.
Mereka sering kali perlu berulang kali menyampaikan gagasan, memperkuat dengan data, dan menyesuaikan gaya bicara hanya agar bisa dianggap setara. Situasi ini bisa membuat lelah secara mental karena merasa selalu harus membuktikan nilai diri sebelum bisa dihargai.
5. Saat belajar skill baru tanpa akses ke fasilitas penunjang

Belajar hal baru jadi lebih mudah ketika ada fasilitas yang mendukung, seperti komputer pribadi, akses internet stabil, mentor, dan kursus berbayar. Sayangnya, tidak semua orang punya akses tersebut. Orang tanpa privilege harus mencari alternatif gratis, berbagi perangkat dengan keluarga, atau belajar dengan keterbatasan koneksi.
Proses belajar jadi lebih panjang dan menantang. Butuh waktu ekstra untuk mengejar pemahaman, dan mereka harus mengandalkan disiplin tinggi agar tidak tertinggal. Bukan karena kurang cerdas, tapi karena sumber dayanya jauh lebih terbatas.
6. Saat harus menang dari stigma dan stereotip

Orang dari latar belakang tertentu, seperti minoritas, masyarakat adat, atau mereka yang berasal dari daerah tertinggal, sering kali menghadapi stigma negatif yang tertanam kuat di masyarakat. Mereka harus berjuang melawan anggapan bahwa mereka kurang kompeten, kurang berpendidikan, atau tidak layak mendapatkan kesempatan, hanya karena tempat asal, gaya bicara, atau identitas mereka yang berbeda dari mayoritas.
Stigma ini membuat setiap langkah terasa lebih berat. Selain harus fokus mengejar mimpi dan meningkatkan kemampuan diri, mereka juga dibebani dengan tugas tak tertulis: membuktikan bahwa stereotip itu salah. Setiap keberhasilan kecil terasa seperti sebuah lompatan besar karena mereka tak hanya menghadapi rintangan personal, tapi juga ekspektasi sosial yang kerap meremehkan. Perjalanan mereka bukan sekadar pencapaian, tapi juga bentuk perlawanan terhadap narasi yang menekan.
7. Saat harus bertahan dengan kondisi keluarga yang tidak stabil

Bagi sebagian orang, rumah adalah tempat aman untuk tumbuh. Tapi bagi mereka yang berasal dari keluarga tidak harmonis, penuh tekanan ekonomi, atau tanpa dukungan emosional, rumah bisa jadi sumber stres. Di saat teman-teman lain bisa fokus belajar dan mengembangkan diri, mereka harus ikut mengurus adik, bekerja, atau menanggung beban pikiran yang berat.
Kondisi ini menuntut mereka untuk dewasa sebelum waktunya. Mereka harus bertahan dengan kondisi mental yang tidak stabil, tapi tetap dituntut untuk berprestasi. Untuk berada di posisi yang sama dengan orang lain, mereka harus bekerja dua kali bahkan tiga kali lebih keras.
Tidak semua orang memulai hidup dari titik yang sama. Tujuh situasi di atas menunjukkan betapa mereka yang tanpa privilege harus berjuang lebih keras hanya untuk mendapat hasil yang sama dengan orang-orang dengan privilege. Jadi, lebih empati dan hargai perjuangan setiap orang, ya!