Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Pexels/Engin Akyurt

Kehilangan adalah bagian tak terelakkan dari kehidupan manusia. Dari barang kecil yang hilang seperti kunci rumah, hingga kehilangan yang lebih besar seperti orang yang kita cintai atau kesempatan yang terlewatkan, rasa kehilangan kerap meninggalkan jejak mendalam dalam diri kita. Namun, mengapa kita begitu terobsesi dengan hal-hal yang hilang? Mengapa kenangan yang hilang, cinta yang berakhir, atau kesempatan yang terlewati tampak lebih berarti setelah mereka tidak ada lagi?

Artikel ini mengeksplorasi filsafat di balik obsesi manusia terhadap kehilangan, mencari jawaban di balik dorongan emosional kita untuk terus meratapi apa yang telah hilang.

1. Kehilangan sebagai inti pengalaman manusia

Pexels/Brett Sayles

Setiap orang pernah merasakan kehilangan. Hal ini bukan hanya tentang barang yang hilang; ia menyentuh sesuatu yang lebih mendalam identitas kita, kenangan, dan harapan. Kehilangan sering memaksa kita untuk merenungkan siapa kita tanpa apa yang telah kita hilangkan. Dalam konteks ini, kehilangan bukan sekadar sebuah peristiwa, tetapi sebuah cermin yang memantulkan aspek-aspek terdalam dari diri kita yang sering kita abaikan.

Eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir berpendapat, bahwa manusia didefinisikan oleh pilihan dan keterbatasan mereka. Kehilangan menjadi keterbatasan paling nyata yang kita hadapi, dan pengalaman ini menjadi pusat dari bagaimana kita memaknai keberadaan kita. Kehilangan, dengan segala rasa sakitnya, adalah pengingat konstan akan ketidakkekalan hidup dan fakta bahwa apa pun yang kita miliki dapat hilang sewaktu-waktu.

2. Seni kehilangan: mengapa yang hilang terasa lebih berharga?

Editorial Team

Tonton lebih seru di