Ratna Sarumpaet saat aktif di dunia teater. (Instagram.com/rsarumpaet)
Dikutip dari IDN Times, perempuan kelahiran Taruntung, Tapanuli Utara, Sumatra Utara ini adalah seorang arsitek lulusan Universitas Kristen Indonesia (UKI). Ia juga terjun sebagai seniman yang mendirikan teater bernama Teater Satu Merah Panggung pada 1974. Ia kerap menulis naskah dan menjadi sutradara Rubayat Umar Khayam (1974), Dara Muning (1993), Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah (1994), dan lainnya.
Selain berkecimpung di dunia seni, ia juga tercatat sebagai aktivis perempuan terkait Hak Asasi Manusia (HAM). Ratna dikenal sebagai aktivis yang sangat vokal menyuarakan pembelaan HAM. Karena hal ini, ia sempat merasakan dinginnya lantai penjara selama 70 hari pada 1998 karena menghadiri pertemuan politik anti-revolusioner dan menyebarkan kebencian.
Ia kemudian mendirikan Ratna Sarumpaet Crisis Centre setelah reformasi. Lembaga ini dibentuk untuk membantu orang-orang yang memiliki berbagai persoalan seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kelaparan, hingga korupsi. Karena aktivitas dalam dunia HAM, ia mendapatkan beberapa penghargaan satu di antaranya Female Human Rights Special Award dari The Asia Foundation For Human Rights di Tokyo, Jepang pada 1998.
Ratna Sarumpaet tercatat aktif di dunia perfilman nasional, lho. Ia pernah menjadi penulis skenario dan sutradara film. Beberapa karyanya seperti Lulu (1989), Rumah Untuk Mama (1991), hingga Balada Orang-Orang Tercinta (1990). ia juga mendapatkan penghargaan dalam dunia perfilman yaitu Public Prize Vesoul International Film Festival, Netpac Award Asiatica Film Mediale Rome, sampai Youth Prize Vesoul International Film Festival.
Sebagai tokoh publik, seharusnya Ratna Sarumpaet sudah mengerti dan mengetahui mengenai Hari Raya Nyepi. Semoga apa yang telah dilakukan Ratna Sarumpaet menjadi pelajaran bagi tokoh-tokoh publik untuk menghormati perayaan ini selama di Bali.