Semangat Tri Hita Karana dari pemuda di Buleleng (Dok.IDN Times/Gede Praja)
Komunitas ini lalu berubah menjadi Yayasan Sahabat Bumi Bali pada tahun 2019. Ketiganya kompak ingin memiliki badan hukum dan legal standing yang jelas.
“Kami bukan main-main lagi gitu. Tapi kami punya role model yang jelas. Kami buatlah Yayasan Sahabat Bumi Bali, yang hari ini juga genap berjalan di tahun kedua,” ungkap Praja.
Selama merintis program di yayasan, faktor pendanaan diakuinya menjadi tantangan tersendiri. Bagaimana mereka menjalankan kegiatan tanpa ada dana. Ia mengambil langkah sumber pendanaan sebisanya. Seperti menjual baju, produk, menyisihkan uang pribadi, hingga bekerja sama dengan corporate social responsibility (CSR).
Konsistensi masing-masing individu juga menjadi tantangan selanjutnya. Karena sebisa mungkin ia menghindari intervensi anggotanya. Cara menyikapinya adalah setiap koordinator yang ingin mengadakan kegiatan harus jadi penanggung jawab. Sedangkan lainnya hanya bersikap backup.
“Tantangan-tantangan kami seperti itu. Nah, tantangan kami ke depan adalah kami ingin membuka volunteer-volunteer di berbagai daerah kabupaten yang ada di Bali. Itu sih tantangan kami ke depan. Ke depannya kami akan membuka volunteer di Negara (Kabupaten Jembrana) dan Karangasem gitu,” jelasnya.
Ia mengakui hubungannya dengan pemerintah mendapatkan respon yang baik, baik dari Dinas Kepemudaan dan Olahraga Provinsi Bali maupun Dinas Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Buleleng. Yayasan Sahabat Bumi Bali mampu menjadi oposisi yang baik di pemerintahan.
“Kalau kami dengan pemerintah lumayan baik ya. Khususnya pemerintah dalam Dispora Bali, Dispora Kabupaten Buleleng itu sangat mengapresiasi kami. Sangat merespon kami dengan baik,” ungkapnya.