Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Hutan Yadnya, Cara Warga Padangtegal Melestarikan Pepohonan

Hutan Yadnya di Desa Padangtegal. (IDN Times/Yuko Utami)

Gianyar, IDN Times - Bapak-bapak duduk bersama mempersiapkan tanaman dan peralatan yang akan digunakan untuk upacara di pura desa. Tanggal 17 Oktober 2024 nanti akan ada upacara besar di Pura Desa Padangtegal, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.

Hutan buatan seluas 48 are ini dirawat oleh 12 orang asli Desa Padangtegal. Kedua belas bapak-bapak ini berkomitmen merawat hutan yadnya (upacara). Kini hutan tersebut telah ditumbuhi 200 jenis tanaman untuk kebutuhan yadnya dan obat tradisional.

1. Hutan yadnya dikelola oleh masyarakat adat

Plang masuk Hutan Yadnya. (IDN Times/Yuko Utami)

Wayan Dana berkeliling hutan yadnya sambil memindahkan dedaunan kering. Sementara rekannya, Made Karsana, sibuk memetik daun Pohon Pule. Keduanya merupakan pengurus hutan yadnya di Desa Padangtegal. Sejak 37 tahun lalu, Wayan Dana memilih untuk serius dalam pelestarian tanaman upakara.

“Kakek dulu berpesan tanaman ini harus ada yang jaga, jangan sampai putus,” ujar Dana saat ditemui di lokasi, Minggu (13/10/2024).

Hutan ini tidak secara alami ditumbuhi tanaman upakara. Dana dan beberapa temannya mengupayakan agar Desa Padangtegal mendukung langkah pelestarian ini. Akhirnya 10 tahun lalu, Desa Padangtegal memiliki hutan yadnya dengan 12 orang pengurus. Tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 2017, Dana dipercaya sebagai Ketua Pengurus Hutan Yadnya.

Ada sekitar 2 orang pengurus dalam sehari yang berjaga di hutan yadnya. Tujuannya untuk merawat sekaligus membantu warga mencari jenis tanaman yang dibutuhkan. Menurut Dana, seiring berkembangnya zaman, beberapa jenis tanaman mulai dihapus atau tidak digunakan dalam membuat sesajen.

2. Warga yang membutuhkan tanaman tidak dimintai biaya

Kurang lebih 200 jenis tanaman di Hutan Yadnya. (IDN Times/Yuko Utami)

Sementara itu Made Karsana, pengurus hutan yadnya, berujar ada banyak warga dari luar Desa Padangtegal meminta tanaman untuk kebutuhan upakara. Pihaknya tidak memungut biaya bagi warga yang membutuhkan tanaman. Mereka dapat menghaturkan canang dan jika berkenan dapat memberi sumbangan yang tidak dipatok, seikhlas dan semampunya saja.

Dana, Karsana, serta bapak-bapak lainnya dapat mengenali jenis tanaman dan fungsinya dengan cepat. Bagi Karsana, ini tidak lepas dari peran tetua mereka di masa lalu.

“Kakek-kakek kita dulu sama seperti kita. Mereka yang mengajarkan merawat, tahu jenis dan fungsi tanaman ini,” kata Karsana.

Karsana berujar, sesajen (banten) untuk ngaben (upacara kematian di Bali) menggunakan 108 jenis tanaman. Namun, di hutan yadnya ada beberapa jenis bibit yang belum tersedia. Sehingga pengelola hutan yadnya di Padangtegal akan bekerja sama dengan desa lainnya, begitu pula sebaliknya.

Tanaman kamiloko misalnya, biasa digunakan untuk kebutuhan upakara hanya mampu didapat di daerah Pulaki wilayah Singaraja, Kabupaten Buleleng. Pernah suatu saat Karsana dan beberapa pengurus menanam bibit dari luar desa, tetapi tidak semuanya mampu bertahan karena habitat yang tidak cocok.

Hutan yadnya juga menerima sumbangan bibit tanaman khusus upakara. Seingat Karsana, ada beberapa warga dari dua kabupaten, Bangli dan Tabanan, yang meminta tanaman di hutan yadnya.

3. Upaya pelestarian yang merindukan keberlanjutan

Made Karsana, salah satu pengurus hutan yadnya. (IDN Times/Yuko Utami)

Hutan yadnya menyelenggarakan upacara perayaan setiap Tumpek Uduh, yaitu bentuk rasa syukur kepada Tuhan dalam wujud tumbuh-tumbuhan. Hingga saat ini, menurut Dana dan Karsana belum ada generasi muda yang dilibatkan dalam pengelolaan hutan yadnya. Satu alasan belum melibatkan anak muda karena rata-rata dari mereka masih bekerja dan bersekolah.

“Kalau sudah ngayah (membantu secara sukarela) di sini harus siap dipanggil kapan saja. Makanya saya tidak ada kerja tetap nanti sering izin,” ujar Karsana sembari tertawa.

Karsana dan bapak-bapak lainnya rata-rata bekerja sebagai buruh serabutan. Menurutnya belum banyak desa di Bali yang menginisiasi adanya hutan yadnya. Ia dan Dana berharap desa-desa di Bali mampu mengupayakan hutan yadnya di wilayah masing-masing.

“Terus terang saja pohon-pohon yang kita petik untuk yadnya itu sudah langka dan perlu dilestarikan lagi. Semoga ada yang bantu kami mengisi penanda nama di tanaman hutan yadnya,” ungkap Karsana.

Hutan yadnya berada di dekat lahan parkir sepeda motor Monkey Forest Ubud. Tidak ada tiket masuk untuk masuk ke hutan yadnya, cukup dengan membayar parkir motor Rp3 ribu. Namun, jika berjalan kaki memasuki hutan yadnya tidak dipungut biaya.

Share
Topics
Editorial Team
Ni Komang Yuko Utami
Irma Yudistirani
Ni Komang Yuko Utami
EditorNi Komang Yuko Utami
Follow Us