Kisah Kakek Budra, Perajin Seruling Jadi Pengamen Depan Kantor Bupati 

Sebelumnya sudah 40 tahun berjualan seruling di Tanah Lot

Suara seruling bambu mengalun lembut menemani para pengemudi kendaraan roda empat dan pengendara roda dua yang berhenti di lampu merah, di depan Kantor Bupati Tabanan. Ketut Budra (74), warga Banjar Kebon, Desa Pandak Gede, Kediri, adalah peniup seruling tersebut.

Tabanan, IDN Times - Usai menghibur dengan meniupkan seruling, beberapa pengemudi memberikannya uang, dari Rp2.000 hingga Rp5.000. Mengamen kini menjadi mata pencaharian Budra setelah usahanya terhantam pandemik COVID-19. Sebelumnya, Budra sudah puluhan tahun jadi perajin seruling bambu.

Baca Juga: Serapan Bibit Kopi Robusta Pupuan Tabanan Rendah, Kalah Saing?

1. Sudah 40 tahun menjual seruling bambu di DTW Tanah Lot

Kisah Kakek Budra, Perajin Seruling Jadi Pengamen Depan Kantor Bupati Ketut Budra dan seruling bambunya (IDNTimes/Wira Sanjiwani)

Ketut Budra mulai menjual seruling buatannya sendiri sejak tahun 1980an atau sekitar 40 tahun lalu. Ia biasanya berjualan di daerah tarik wisata (DTW) Tanah Lot. Saat muda, biasanya Budra suka mencari bahan baku bambu di hutan.  

"Sekarang sudah tua. Jadi tidak lagi mencari bambu di hutan. Sekarang beli di daerah Jalan By Pass Soekarno," ujarnya.

Satu batang bambu ia beli seharga Rp10.000. Dari satu batang bambu, bisa menjadi setidaknya lima seruling bambu. Budra mengaku bisa membuat dua seruling dalam sehari.

"Dulu saya jual dari Rp20 ribu-Rp30 ribu. Kalau untuk orang asing, Rp50 ribu," ujarnya.

2. Budra juga jago melukis di atas tripleks dan dijual keliling

Kisah Kakek Budra, Perajin Seruling Jadi Pengamen Depan Kantor Bupati Budra dan karya lukisannya (IDNTimes/Wira Sanjiwani)

Dengan motor gandengnya, Budra biasanya juga membawa lukisan karyanya. Ia melukis di atas tripleks dan dijual dengan harga Rp200 ribu-Rp250 ribu.

"Bisa melukis dari dulu. Tidak sekolah. Soalnya tamat SD saja tidak," ujarnya.

Dengan jualan berkeliling, Budra berharap ada yang membeli hasil karyanya. Budra mengakui saat ini sudah sangat jarang ada yang mau membeli seruling maupun lukisan. Tidak seperti dulu saat ia masih berjualan di DTW Tanah Lot.

"Dulu ada saja 1 sampai 2 yang terjual. Sekarang jarang sekali ada yang mau beli. Makanya saya sekalian ngamen," ujarnya.

3. Mulai berjualan dan mengamen di lampu merah sejak tahun 2020 lalu

Kisah Kakek Budra, Perajin Seruling Jadi Pengamen Depan Kantor Bupati Budra menujukkan kasil karya lukisan dan seruling bambunya (IDNTimes/Wira Sanjiwani)

Bapak satu anak dan tiga cucu ini mengaku mulai kesulitan mencari nafkah lewat jualan seruling dan lukisan sejak pandemik COVID-19.

"Sejak tahun 2020 dan DTW Tanah Lot tutup sementara, jadi tidak ada penghasilan," ujarnya.

Meski usianya sudah senja, namun Budra tetap harus mencari cara agar dapurnya tetap mengepul. Ia pun mulai berjualan di lampu merah.

"Karena jarang ada yang mau beli seruling dan lukisan buatan saya, sekalian akhirnya saya ngamen di lampu merah," ujarnya. 

Budra mulai berjualan dan mengamen di lampu merah sejak tahun 2020 lalu. Penghasilannya dari sana memang tidak seberapa, tetapi Budra bersyukur masih ada warga yang mau memberinya Rp2.000 sampai Rp5.000.

"Bersyukur saja. Ada yang ngasi, ada yang tidak, tidak apa," ujarnya.

Sayangnya, Budra tidak memiliki handphone sehingga sulit jika ingin memesan suling lewat telepon. Tetapi bagi yang mau membeli suling atau lukisan, bisa datang langsung ke rumahnya, di Banjar Kebon Desa Pandak Gede, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan.

Pembeli juga bisa membeli saat Budra mengamen. Ia biasanya mengamen di lampu merah patung Bung Karno, Kediri.

"Sekarang pindah sementara ke depan kantor Bupati Tabanan sambil menunggu cucu saya yang nomor tiga dirawat inap di RSUD Tabanan," ujarnya.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya