Kisah Para Pengabdi di Pelosok Tanah Air, Setia Menjaga Harapan 

Mereka yang bertahun-tahun bekerja dalam kesunyian

Dalam hingar bingar dan keriuhan berbagai persoalan yang terjadi di Tanah Air, suara rakyat seolah kian terpinggirkan. Mereka terbungkam oleh kencang dan lantangnya berbagai dalih dan pembelaan yang dilakukan oleh para penguasa yang pongah. Semuanya dipertontonkan begitu gamblangnya, seakan tanpa ada rasa bersalah maupun penyesalan. Terlebih dalam situasi pagebluk yang kian menghimpit rakyat.

Denpasar, IDN Times - Dalam masa krisis kepercayaan ini, siapa lagi yang bisa digugu dan diandalkan? Apa yang bisa diperbuat? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini barangkali akan terus bermunculan dan mungkin tidak akan pernah ada jawaban yang pasti untuk itu. Ketika kehadiran pemerintah tak banyak bisa dirasakan masyarakat, di sanalah hadir sosok-sosok pengabdi yang nama maupun kisahnya jarang tercatat. Jauh sebelum pandemik COVID-19, mereka telah mendedikasikan diri dan kehidupannya untuk orang banyak. Ya, merekalah para penjaga harapan itu, yang puluhan tahun bekerja dalam kesunyian. 

Dalam liputan khusus kali ini, IDN Times merekam perjuangan para pengabdi di berbagai pelosok tanah air. Dari Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, hingga Sulawesi. Berbagai hambatan dan rintangan pernah mereka alami, namun panggilan nurani membuat diri sampai saat ini terus bertahan menjalani apa yang sudah dimulai. Sosok-sosok ini memang bukanlah satu-satunya, pastilah ada para pengabdi lain yang selama ini kiprahnya banyak berdampak. 

Bulan Agustus yang sarat dengan peringatan dan penghormatan kepada para pejuang kemerdekaan, peran para pengabdi tersebut tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Mereka boleh jadi memang hanya rakyat biasa, tapi dedikasi dan pengorbanannya berdampak luar biasa. Mereka patut dicatat dan diberi tempat. Inilah kisah para pengabdi di pelosok tanah air yang senantiasa menjaga serta merawat harapan dan sisi kemanusiaan manusia. 

1. Ni Putu Alit, perempuan Bali yang 50 tahun mengabdi di dapur Yayasan Pendidikan Dria Raba

Kisah Para Pengabdi di Pelosok Tanah Air, Setia Menjaga Harapan Ni Putu Alit sudah mengabdi selama 50 tahun di dapur Yayasan Pendidikan Dria Raba (IDN TImes/Ayu Afria))

Ia memang bukan pahlawan yang tercatat secara administrasi dan mendapatkan gelar. Apalagi diperingati dengan upacara kenegaraan. Tapi sosok ini adalah pahlawan yang terkenang di hati para anak panti yang sebagian besar penyandang disabilitas sensorik netra.

Tidak main-main, ia mengabdikan diri sudah setengah abad mengurus dapur panti. Perempuan asal Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung tersebut bernama Ni Putu Alit (69). Tercatat sejak tahun 1971 Ni Putu Alit mengabdikan dirinya di Panti Guna Dria Raba, saat usianya masih 19 tahun. Ia memang tidak meneruskan sekolah karena saat itu tengah mengandung anak pertamanya. Ia pun akhirnya bekerja membantu memasak di dapur untuk anak panti dan terus menjalaninya hingga saat ini.

“Saya terus di sini meladeni anak-anak sampai sekarang,” ungkapnya.

Tidak semudah yang dibayangkan, tugasnya setiap hari bangun pukul 04.00 Wita, memasak makanan secara tradisional. Saat itu hanya menggunakan kukusan dan kayu bakar. Setelahnya ia belanja ke Pasar Sanglah berjalan kaki untuk stok sayuran dan lauk hari selanjutnya.

Tidak hanya mengurusi dapur, Ni Putu Alit juga sering menemani tidur anak-anak panti yang baru saja masuk. Menenangkan mereka yang menangis karena harus tinggal di panti dan terpisah dengan keluarga. Kadang Ni Putu Alit juga membantu memandikan anak-anak.

“Kalau ada anak-anak yang baru datang, ya itu dah saya keloni. Gimana seperti saya punya anak gitu. Kadang-kadang ada sampai dua minggu dia menangis. Saya keloni akhirnya dia betah,” jelasnya.

Kesibukan yang padat mengabdi di panti membuatnya tidak memiliki waktu untuk libur. Ia menyampaikan hanya mengambil libur saat Hari Raya Galungan dan libur sekolah saja. Syukurnya, belakangan Ni Putu Alit tidak lagi sendiri, ada dua orang rekannya yang turut membantu kesibukan di dapur.

Apalagi kini usianya tak lagi muda, ia merasa kesusahan apabila terus naik turun tangga. Sempat ia merasa nyeri di tangannya dan tidak bisa mengangkat beban. Dua orang temannya tersebutlah yang kemudian menggantikan tugasnya, terutama sekali saat ia sedang tidak enak badan.

Dalam sehari, Ni Putu Alit memasak setidaknya 10 kilogram beras untuk sekitar 20-an orang. Kemudian memasak sayur dan lauk seperti ikan, telur, dan ayam. “Menu lain-lain. Digilir. Kadang ayam digulai. Kadang-kadang nasi goreng ya. Kadang-kadang, ya pokoknya senenglah anak-anak masakan saya. Apa aja dimakan, ndak pernah mengeluh mereka. Paling ndak ayam, sambal, kerupuk,” jelasnya

Untuk menjaga stamina tubuh, ia rajin meminum dua gelas air hangat setelah bangun tidur. Kebiasaan tersebut telah dilakukannya selama masa pengabdiannya tersebut. Ia juga mengonsumsi bawang putih hitam. Menurutnya sesungguhnya tidak ada resep khusus untuk menjaga kesehatannya.

Selama masa pengabdiannya sejak tahun 1971 itu, ia mengaku tidak menerima upah. Hanya kadang dari masyarakat yang memberinya bantuan uang. Ia dan keluarganya diperkenankan makan dan tinggal di sana saja. Baru kemudian tahun 2010 lalu ia mendapatkan upah per bulannya sebanyak Rp1 juta.

“Baru itu saya tahu bagaimana rasanya menerima uang. Itu nangis saya. Itu 2010. Satu juta itu bagi saya besar,” ungkapnya.

Tangan keriputnya masih cukup sigap menahan air mata yang akan menetes saat mengingat kembali suka dan duka selama 50 tahun mengabdi. Ni Putu Alit bertahan karena bahagia jika bertemu dengan anak-anak panti. Itu sebabnya ia terus memilih mengabdi, menyiapkan makanan di dapur. Meladeni dan menyajikan makanan bagi puluhan anak Panti Guna Dria Raba.

“Emang sih capeknya luar biasa. Iya (di dapur). Tapi astungkara tidak pernah sakit keras. Kalau senangnya itu, kalau masak dia makan, habis dimakan. Di piringnya tidak ada yang sisa itu,” jelasnya.

“Kayaknya hati saya menyatu dengan anak-anak. Gitulah. Kasihan kalau dia ditinggal gitu. Siapa yang nanti ngurusnya gitu. Semasih saya bisa, ya saya lanjut. Kalau sudah ndak bisa, ya saya nyerah. Mungkin pengabdian saya di sini. Karena nggak punya pekerjaan lain,” imbuhnya.

Menurutnya banyak anak panti yang kini sudah berbaur dengan masyarakat dan memiliki keluarga sendiri, kerap mencarinya ketika kembali ke Bali. Mereka yang merupakan tamatan sekolah dan pernah tinggal di panti ini, datang mencarinya. Begitu bertemu, mereka langsung memeluknya bagaikan ibu sendiri.

2. Rina Zainun, aktivis perempuan dan anak di Kalimantan Timur

Kisah Para Pengabdi di Pelosok Tanah Air, Setia Menjaga Harapan Ketua Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRCPPA) di Provinsi Kalimantan Timur Rina Zainun. (IDN Times/Nina)

Rina Zainun (44) adalah seorang penyintas. Saat masih kanak dulu, aktivis perempuan dan anak ini pernah menjadi korban pelecehan seksual. Trauma masa lalu ini yang akhirnya mendorong Rina aktif dalam perlindungan perempuan dan anak di Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim). Bersama dengan aktivis lain, ia pun membentuk Tim Organisasi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRCPPA) Kaltim. 

“Saya aktif di sini, karena saya pernah menjadi korban pelecehan seksual,” tutur Rina, Kamis (26/8/2021). 

Masa kecil Ketua TRC PPA Kaltim ini penuh dengan kesedihan. Hidup dalam keluarga sederhana, membuatnya terkadang harus sendirian di dalam rumah. Sedangkan kedua orangtuanya harus bekerja keras meninggalkannya sendirian tanpa pengawasan. Ternyata itu menjadi awal mimpi buruk yang mengubah seluruh jalan hidupnya. 

“Orang yang melecehkan saya adalah keluarga kerabat orang tua saya sendiri. Kalau gak salah usia orang itu sudah 30an, sedangkan saya masih kelas 1 SD,” bebernya.

Rina yang masih polos tentu tak menyangka pelaku perbuatan bejat tersebut malah berasal dari kerabatnya sendiri. Ia juga tidak berani menceritakan kejadian tersebut kepada siapa pun, termasuk pada kedua orangtuanya. Perilakunya saat itu seketika berubah 180 derajat, dari semula bocah yang periang, mendadak jadi pemurung dan tertutup. Rina juga tidak lagi berani tinggal sendirian di dalam rumah serta memilih ikut ke mana pun orangtuanya pergi. 

“Saya tidak pernah lapor. Takut. Waktu itu, pelipis dan bibir saya kan berdarah, karena di pukul pelaku dan saya lari. Bapak saya tanya, itu kenapa? Saya cuma bilang jatuh,” ungkapnya. 

Puluhan tahun berjalan, Rina akhirnya mencoba berdamai dengan keadaan. Tekatnya sekarang hanya satu yaknin agar pengalamannya itu tidak dialami anak-anak dan perempuan lain. 

“Saat ini tidak ada dendam di hati, mencoba berdamai dengan keadaan dan berdamai dengan hati. Untuk mengobatinya dengan cara membantu perempuan dan anak yang tertimpa masalah” ungkapnya.

Setelah menginjak dewasa, pengabdian Rina dalam perlindungan anak dan perempuan makin membara. Ia yang sudah aktif di pelbagai organisasi, berniat bergabung bersama lembaga nasional yang fokus dalam perlindungan perempuan dan anak. 

Saat berusia 36 tahun, Rina bergabung bersama Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Wilayah Samarinda. Hingga kemudian pada tahun 2013 ia dipercaya memegang jabatan Sekretaris KPAID Samarinda.

“Pertengahan tahun 2013, ikut bergabung dengan LBH, Kumham. Nah kemudian, pada saat kuliah itu saya diminta untuk menjadi Wakil Sekretaris di KPAI Kota Samarinda, bersama dengan Mas Ajis Sunyo. Mulai dari situ saya ikut kegiatan untuk perempuan dan anak, terutama anak-anak,” tuturnya.

Rina kerap mengawal sejumlah kasus pelecehan anak-anak. Menurutnya, dengan pengalamannya itu, akan membantu orangtua sehingga tahu apa yang harus dilakukan dalam melindungi masa depan anaknya. 

Meski sudah bergabung dalam lembaga hukum yang sah, Rina menceritakan dirinya tetap menemui kendala dan masalah selama menjalankan tugas kemanusiaan tersebut.

“Saya ini tidak begitu paham dengan hukum, tapi saya selalu mengupayakan agar korban pelecehan atau kekerasan pada perempuan dan anak harus dikawal dan diperjuangkan,” tegasnya.

Selama itu pula, Rina terus mendapatkan perlawanan, baik dari keluarga korban hingga orang-orang yang tidak dikenal. 

“Jangan dikira hanya karena kasus anak atau perempuan, kami tidak mendapat intimidasi. sering kok,” ungkapnya.

3. Fachrul Alamsyah, inisiator sanggar literasi Republik Gubuk di Jawa Timur

Kisah Para Pengabdi di Pelosok Tanah Air, Setia Menjaga Harapan Fachrul Alamsyah, inisiator republik gubuk yang kini berkembang menjadi 35 gubuk. IDN Times/Alfi Ramadana

Penampilannya sederhana, dengan rambut gondrong yang dikuncir. Pembawaanya ramah, bahkan mungkin tak ada orang yang mengira bahwa pria tersebut adalah sosok yang inspiratif. Ya, dia adalah Fachrul Alamsyah (44) inisiator Republik Gubuk yang menaungi 35 gubuk baca, sebuah sanggar literasi.

Ia berprinsip bahwa mengabdi kepada masyarakat tidak melulu harus menjadi kepala daerah ataupun pejabat. Upaya kecil namun bermanfaat bagi masyarakat juga merupakan bagian dari pengabdian. Sejak tujuh tahun lalu pria satu anak itu mengembangkan gubuk baca sebagai pusat untuk belajar. 

Fachrul mengatakan bahwa minat belajar dan membaca anak-anak di kampung seperti di Desa Sukolilo, Jabung, sebenarnya cukup tinggi. Namun kesempatan serta tempat untuk belajar tidak ada. Hal itu kemudian membuatnya mulai berpikir untuk memberi wadah bagi anak-anak tersebut dengan mendirikan sanggar literasi, tepatnya pada tahun 2014.

"Seiring berjalannya waktu, gubuk baca ini ternyata terus berkembang. Tidak hanya melulu mengajari anak-anak belajar, tetapi juga berkembang sesuai kebutuhan di masing-masing gubuk. Namun, ruh utamanya tetap literasi," urainya. 

Seperti halnya sekolah-sekolah umum, untuk belajar tentunya perlu mentor atau pendamping. Menariknya, untuk gubuk baca pendamping atau mentor belajar merupakan pemuda setempat. Bahkan, ada satu gubuk baca yang pendamping serta mentor bagi anak-anak belajar adalah mantan preman. Gubuk baca itu berada di Gang Tato, Kemantren, Jabung. Sesuai namanya, mentor dari gubuk baca tersebut adalah pemuda-pemuda bertato yang sebelumnya merupakan seorang preman.

Stigma negatif mengenai wilayah tersebut sebagai kampung preman kini mulai berubah setelah adanya gubuk baca. Para preman yang sebelumnya lekat dengan kriminalitas, kekerasan, dan dunia hitam, telah bertransformasi. 

"Mereka kini menjadi pengajar bagi anak-anak di lingkungan sekitarnya. Menjadi pengajar tentu membuat mereka mau tidak mau mengubah sifat dan kehidupan pribadinya yang sebelumnya negatif, perlahan mulai menemukan jalan terang menjadi pribadi yang lebih baik," tambahnya. 

Pria yang akrab disapa Irul itu menambahkan, pembelajaran yang diberikan di gubuk baca tidak hanya soal pendidikan akademik. Tetapi juga keterampilan dan hal-hal yang sifatnya memberikan anak-anak untuk bersosialisasi satu sama lain, misalkan pelatihan tari, bela diri, hingga bekerja dalam tim.

"Jadi anak-anak bisa belajar menjadi makhluk sosial, belajar berkelompok dan menghargai sesama. Ini merupakan bagian dari pendidikan karakter yang harus ditanamkan pada anak-anak sejak dini," sambungnya. 

Selama tujuh tahun perkembangan republik gubuk, Irul mengakui perjalanannya tak selalu mulus. Ada beberapa kali hambatan dan penolakan dari masyarakat. Terlebih dari beberapa gubuk yang mentor atau pendiri dan pengasuh merupakan mantan preman. Masyarakat khawatir bahwa anak-anak mereka akan mengikuti jejak para mentor itu.

Meskipun demikian, Irul mengatakan bahwa hal tersebut merupakan tantangan untuk bisa mengemas dan membuktikan bahwa gubuk baca bukan seperti yang masyarakat takutkan. 

"Sebenarnya masyarakat ini menerima programnya tetapi tidak dengan orangnya. Pasalnya memang beberapa gubuk diasuh langsung oleh teman-teman dengan latar belakang negatif. Tetapi seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai menerima, setelah juga ada niatan baik dari teman-teman pengasuh untuk sama-sama berubah," jelasnya.

Irul menyebut bahwa misi besar republik gubuk sendiri sebenarnya adalah menjadi seperti kawah candradimuka bagi siapapun yang ada di dalamnya untuk sama-sama memperbaiki diri dan menjadi manusia yang lebih berkualitas. Setelah itu tercapai, maka mereka yang sudah lulus mampu memberikan manfaat bagi orang di sekitarnya. 

"Teman-teman ini bisa menjadi agen perubahan di manapun berada. Tidak harus gubuk baca, mungkin bisa wadah apapun untuk bisa menjadi lentera atau penerang bagi lingkungannya masing-masing," pungkasnya. 

4. Ahmad Yani, pendiri Komunitas Peduli Anak Jalanan Makassar Sulawesi Selatan

Kisah Para Pengabdi di Pelosok Tanah Air, Setia Menjaga Harapan Ahmad Yani, pendiri Komunitas Peduli Anak Jalanan (KPAJ) Makassar. Dok. KPAJ Makassar

Banyaknya anak-anak mencari nafkah di tengah hiruk pikuk perkotaan sudah menjadi pemandangan umum di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Tak sedikit dari mereka yang mengais rezeki di bawah jalan layang atau flyover di kawasan Jalan AP Pettarani.

Dengan peralatan seadanya, mereka mencari nafkah di antara lalu lalang kendaraan yang berhenti saat lampu merah. Kadang mereka mengamen, menjual tisu, kadang juga menjual koran. Walaupun berbahaya, namun apa daya, rezeki tetap harus dicari.

Tak banyak yang peduli pada nasib mereka. Hanya segelintir orang yang benar-benar mau meluangkan waktu untuk mendengar keluh kesah anak-anak yang seharusnya masih bermain dan belajar itu. Di Makassar, sosok itu adalah Ahmad Yani.

Pada tahun 2012 silam, Yani, sapaannya, mendirikan Komunitas Peduli Anak Jalanan (KPAJ) Makassar. Inisiatif Yani itu berawal dari keprihatinannya pada anak-anak yang bekerja di bawah flyover.

"Awalnya itu saya di flyover lewat jam 02.00 subuh dan masih banyak anak-anak yang jualan koran di sana. Jadi kan agak miris melihat kondisi itu. Sampai detik ini masih banyak saya lihat di lampu-lampu merah sampai subuh mereka di trotoar tidur atau jualan," ucap Yani, Jumat (27/8/2021).

Bagi Yani, KPAJ merupakan gerakan untuk mengumpulkan anak-anak muda yang sama-sama peduli pada nasib anak-anak jalanan, khususnya anak-anak yang turun ke jalan mencari nafkah. Awalnya, KPAJ hanya beranggotakan 5 orang. 

Melalui KPAJ, Yani bertekad untuk membuat anak-anak jalanan bisa mengenyam pendidikan, walaupun hanya pendidikan nonformal. Namun kondisi ini diakuinya cukup sulit karena tak mudah mengajak anak-anak jalanan untuk mau belajar.

"Jadi mereka itu agak susah memang untuk didudukkan belajar awalnya. Karena di satu sisi mereka mau bekerja, di satu sisi juga orangtua mereka tidak mau kalau anaknya meluangkan waktunya untuk belajar, pokoknya kerja terus," katanya.

Perlahan tapi pasti, anak-anak jalanan itu pun mulai bisa didekati. KPAJ menggunakan pendekatan yang lebih persuasif yaitu dengan rutin berbagi. Masa pendekatan itu berlangsung selama tiga tahun yaitu sejak 2012 hingga 2014. Selama masa pendekatan itu, KPAJ kerap membagikan susu dan makanan kepada anak-anak jalanan. Begitu pun kepada orangtua mereka yang juga butuh pendekatan khusus.

Bagi anak-anak yang masih bisa melanjutkan sekolah, tapi terkendala dana dan peralatan sekolah seperti seragam atau sepatu, KPAJ mengusahakan agar mereka bisa kembali bersekolah. KPAJ sempat pula kesulitan saat mengumpulkan dana karena banyak orangtua yang tidak mau anaknya bersekolah. Seiring berjalannya waktu, komunitas ini berusaha agar anak-anak ini tidak lagi di jalanan. Maka dipindahkanlah mereka ke area binaan. 

"Itu kita bukakan sekolah belajar. Jadi sekolah nonformal bagi mereka yang tidak bisa melanjutkan sekolah. Adapun adik-adik yang kedapatan tidak sekolah dan masih bisa diuruskan sekolah, kita usahakan mereka mendapatkan sekolah formal," kata Yani.

Yani menyebutkan KPAJ memiliki sedikitnya 300 anak binaan dari 8 area binaan di Kota Makassar. Di antaranya ada di Manggala, Telkomas, Jalan Adhyaksa, dan Jalan Kerung-kerung, sekitar Unhas, dan BTP. 

"Karena kita manusia. Jadi kita melakukan hal-hal yang dilakukan manusia. Peduli terhadap anak-anak jalanan. Harapan saya sih ke depannya mereka bisa menjadi pemimpin besar," kata Yani.

Yani menilai permasalahan anak jalanan tidak mudah untuk diselesaikan. Ia berharap ada kerja sama dari semua pihak, utamanya dari pihak pemerintah untuk menanggulangi masalah anak jalanan. 

5. Elisabeth Philip, penggerak perekonomian Desa Tlogoweru di Jawa Tengah

Kisah Para Pengabdi di Pelosok Tanah Air, Setia Menjaga Harapan Elisabet Philip, perempuan tuna netra yang mendermakan hidupnya untuk kegiatan sosial. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Desa Tlogoweru di Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak, Jawa Tengah merupakan desa wisata yang terkenal dengan budidaya burung hantu jenis Tyto Alba. Desa itu juga tersohor karena mengundang tamu dari segala penjuru Indonesia dan luar negeri untuk datang. Cikal bakal Desa Tlogoweru sebagai daerah penangkaran burung hantu ternyata bermula dari kedatangan Elisabeth Philip (61).

Perempuan asal Kota Semarang itu datang ke Desa Tlogoweru pada tahun 2007. Meski memiliki keterbatasan fisik yakni tidak bisa melihat, Elis, begitu perempuan itu akrab disapa, tergerak hatinya untuk mengentaskan kemiskinan di desa tersebut.

‘’Sudah sejak tahun 1960, Desa Tlogoweru berstatus sebagai desa tertinggal. Saat saya datang ke sana, kondisinya sangat memprihatinkan. Terpencil, akses jalan rusak, dan lahan pertaniannya kering tidak pernah panen. Saya tergerak karena rasa belas kasihan yang Tuhan taruh di hati saya,’’ ungkapnya saat ditemui Kamis (26/8/2021). 

Niat Elis membantu untuk membangkitkan desa yang tertinggal itu menjadi desa sejahtera tentu tidak mudah. Masyarakat, bahkan kepala desa saat itu menaruh rasa curiga padanya. 

‘’Saat masuk di Tlogoweru pertama kali, saya dicurigai karena mereka melihat kulit saya dan nama saya. Mereka tahu saya ini keturunan Tionghoa dan beragama Kristen. Saya ditolak karena warga desa mayoritas Muslim. Namun saya menjawab keraguan mereka dengan satu kepastian. Saya bilang, saya datang untuk mengentaskan kemiskinan dan tidak ingin mengkristenkan mereka,’’ tuturnya.

Dengan segala pemikiran serta tenaganya, Elis mendidik dan melatih warga desa dengan keterampilan seperti menjahit, tata rias, komputer, beternak lele, sapi, hingga burung hantu, dan bertani. Namun upaya itu sempat terkendala karena Desa Tlogoweru belum memiliki tempat untuk pelatihan warga. Balai desa pun tidak memenuhi syarat sebagai tempat untuk belajar. Akhirnya pada tahun 2011, setelah bernegosiasi dengan lurah setempat, ia membangun Balai Latihan Kerja (BLK) Sejahtera Bersama di desa tersebut. Seluruh pelatihan yang diberikan kepada warga tanpa dipungut biaya. 

Seiring berjalan waktu, Desa Tlogoweru semakin berdaya. Elis yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga itu juga melahirkan kelompok batik Tyto Alba yang beranggotakan warga perempuan di sana. Mereka membatik di sela bekerja sebagai buruh tani. Ciri khas motif batik dari Desa Tlogoweru adalah burung hantu. Kain-kain batik hasil karya warga itu kini tidak hanya dipasarkan di wilayah Demak, tapi sudah sampai Jawa Timur. Per lembar kain batik dijual seharga Rp100 ribu sampai Rp1 juta, tergantung bahan dan motif yang dibuat. 

Usaha Elis membangkitkan perekonomian warga tidak hanya sampai di situ. Setelah mampu membenahi sektor pertanian yang tak berkembang melalui pembangunan 1.000 sumur pantek untuk sarana masuknya air dari dalam tanah, hama tikus datang mengganggu area sawah. Elis pun menggagas agar warga beternak burung hantu agar bisa dimanfaatkan sebagai predator pengusir hama tikus. Kini desa yang dulu tertinggal itu menjadi desa percontohan nasional.

‘’Sejak saat itu Tlogoweru banyak dikunjungi orang-orang dari luar daerah untuk belajar. Kenapa desa yang dulu miskin tertinggal menjadi makmur. Itu alasan mereka datang untuk mencari tahu dan belajar. Bahkan, pada waktu itu ada orang dari Kalimantan datang nyarter pesawat untuk belajar di sana,’’ jelas istri dari Jimmy Philip ini. 

Elisabeth memang tuna netra, tapi keterbatasan itu tidak menghalanginya untuk berkarya, aktif berkegiatan sosial, dan mendermakan dirinya. ‘’Waktu kecil saya pengen sekolah, tapi tidak bisa bayar. Untuk sekolah, orangtua saya harus jual pakaian bekas. Maka, waktu itu saya bermimpi kalau saya bisa menghasilkan uang, saya ingin sekali memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak,’’ tutur perempuan kelahiran Semarang 30 Agustus 1960 itu.

Mimpi itu diwujudkannya dengan membangun SMK Bagimu Negeriku di Jalan Palir Raya No 66--68 Podorejo, Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang. Para siswa yang sekolah di sana dari kalangan tidak mampu, tapi memiliki semangat yang tinggi untuk belajar. Mereka tidak hanya berasal dari Kota Semarang, tapi juga dari luar Jawa. 

‘’Saat itu saya berkunjung ke pedalaman Sintang, banyak anak-anak yang tidak punya pengharapan di sana. Kemudian, ada dari mereka yang bertanya pada saya. Bu, apa yang bisa sekolah itu orang kota dan orang kaya? Bagaimana nasib kami di tengah hutan? Dari situ saya tergerak dan dalam hati saya berucap, kalau Tuhan berkati saya mau mendirikan sebuah sekolah yang memberi kesempatan kepada orang pedalaman agar bisa menuntut ilmu,’’ katanya. 

Perempuan yang juga berprofesi sebagai pemuka agama itu pada tahun 1983 pernah mengalami kecelakaan. Lalu 11 tahun kemudian ia mengalami kehilangan penglihatan hingga sekarang. 

‘’Waktu merupakan kesempatan selama hidup yang harus gunakan sebaik-baiknya dan berguna untuk orang lain. Dan saya percaya kalau hidup bisa berdampak dan berguna bagi banyak orang, buat orang bahagia pasti hati kita juga bahagia,’’ tandasnya.

6. Febrilia Ekawati, Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Way Seputih Lampung

Kisah Para Pengabdi di Pelosok Tanah Air, Setia Menjaga Harapan Instagram.com/febriliaekawati

Kerusakan lingkungan seperti ilegal logging, penambangan pasir, pembuangan sampah ke sungai atau laut, menjadi masalah klasik yang tak kunjung usai. Tak semua masyarakat menyadari akan pentingnya menjaga kelestarian Sumber Daya Alam (SDA). Terlebih kebijakan pemerintah yang kadang tidak mengedepankan kelestarian lingkungan.

Namun, masih ada pejuang-pejuang lingkungan yang pantang menyerah mengedukasi masyarakat supaya tetap menjaga dan menggunakan SDA secara bijak. Bahkan para pejuang itu mengadvokasi pemerintah agar kebijakannya selaras dengan kelestarian SDA.

Seperti dilakukan Febrilia Ekawati yang saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS). Selama 13 tahun berkecimpung di isu lingkungan, Febri sudah menghadapi banyak tantangan dalam mengadvokasi masyarakat yang melakukan kerusakan lingkungan.

Sebelum bergabung dengan YKWS, awalnya pada 2008, Febri menjadi bagian dari lembaga sosial masyarakat serikat petani. Ia menjadi penyuluh kelompok perempuan mau pun petani. Kemudian, akhir 2010 ia menjadi fasilitator di YKWS dan melakukan pendampingan pada kelompok tani yang berada di kawasan desa penyanggah.

"Seperti hutan lindung atau taman nasional. Sebelum jadi eksekutif, tugas saya menjadi fasilitator pada masyarakat yang dulunya melakukan ilegal logging di hutan lindung," ungkapnya.

Ia memberikan pemahaman tentang bagaimana masyarakat mengurangi aktivitas intervensi yang bisa mengancam keberadaan hutan lindung. Aktivitas masyarakat harus dialihkan pada pengembangan hutan rakyat atau pengelolaan hasil hutan bukan kayu.

Anak pertama dari tiga bersaudara ini juga turut mengadvokasi aktivitas pertambangan pasir. Bahkan, pernah ada kejadian terjadi bentrokan antara dia dan penambang pasir. Meskipun begitu, menurutnya hal-hal seperti itu memang biasa dialami oleh fasilitator lingkungan. 

"Ada saja masyarakat yang membenturkan program kami dan memprovokasi bahwa advokasi atau edukasi ini justru menyusahkan mereka. Itu lah kenapa fasilitator harus mampu berkomunikasi dengan seluruh lapisan masyarakat," terangnya.

"Konfrontasi itu jadi proses belajar kita dan tidak mematahkan semangat," tegasnya.

Ia menuturkan, selain itu tantangan lain yang harus dihadapi adalah kondisi wilayah yang masih sulit diakses serta belum adanya listrik dan tidak tersedia air bersih serta harus terisolasi di suatu wilayah karena ada bencana.

Selama ini Febri juga aktif memberi advokasi kepada pemerintah agar kebijakan yang dibuat tidak berdampak buruk pada lingkungan. "Dulu saya suka demo, tapi saat ini saya punya strategi sendiri untuk advokasi," terangnya.

Febri mengatakan, saat ini terus berupaya membangun solidaritas bersama aktivis lain. Terutama di tengah pandemik COVID-19.

7. Karmini, relawan pengemudi mobil ambulans yang mengangkut pasien COVID-19 di Yogyakarta

Kisah Para Pengabdi di Pelosok Tanah Air, Setia Menjaga Harapan Karmini, driver mobil jenazah COVID-19 dari Kalurahan Potorono, Kapanewon Banguntapan, Kabupaten Bantul. (Instagram.com/pemkabbantul)

‎Sehari-hari, Karmini (46) adalah seorang ibu rumah tangga. Namun di tengah pandemik ini, perempuan asal Padukuhan Balong Kidul, Kalurahan Potorono, Kapanewon Banguntapan, Kabupaten Bantul ini menjadi relawan pengemudi mobil ambulans yang mengangkut pasien COVID-19 ke rumah sakit.

Karmini juga biasa terlibat dalam proses rukti jenazah pasien COVID-19. Saat ini memang belum seluruh kalurahan di Bantul memiliki tim rukti jenazah. Karmini mengaku menjadi sopir ambulans sejak awal pandemik COVID-19 silam. Kala itu, dirinya sedang mengayuh sepeda ontel dan tiba-tiba gawainya berdering. Dukuh Mertosono meminta dirinya menjadi sopir untuk mengantar satu keluarga yang mengalami gejala COVID-19 menuju Rumah Sakit Lapangan Khusus COVID-19 (RSLKC) di Bambanglipuro Bantul.

Ia masih ingat saat itu kondisi cukup mencekam. Banyak jalan yang ditutup agar penularan virus corona tidak menyebar ke kampung-kampung. Ketika dirinya menjadi sopir yang mengantar ke RSLKC, ia mengaku sesungguhnya juga takut terpapar COVID-19.

"Tetapi saya memberanikan diri untuk mengantar ke RSLKC karena tidak ada lagi sopir yang bisa mengantar ke RSLKC. Niat saya cuma satu yakni menolong saja," ucapnya.

Beberapa hari kemudian terdapat kabar mengejutkan. Seluruh anggota keluarga yang diantar Karmini dinyatakan positif COVID-19 dan menjadi kasus pertama di Kalurahan Potorono. Bukannya kapok, perempuan kelahiran 21 November 1975 ini justru terdorong untuk mengantar pasien lain yang akan menjalani isolasi dan membutuhkan layanan kesehatan ke rumah sakit.

"Saya jika tidak ada pasien yang diantar ke rumah sakit, juga ikut terlibat dalam proses penyemprotan disinfektan hingga turut melakukan rukti jenazah pasien COVID-19," ujarnya.

Karmini mengisahkan awal mula dirinya terdorong untuk menjadi tim rukti jenazah COVID-19 adalah ketika ada pasien COVID-19 yang meninggal saat isolasi mandiri, tepatnya pada Desember 2020. Saat itu, kelurahannya belum memiliki tim rukti sehingga harus meminta bantuan tim rukti dari Kelurahan Baturetno.

"Kondisi memang sedang gawat, ada pasien COVID-19 yang isoman di rumah meninggal dan tidak ada tetangga yang datang. Akhirnya saya putuskan mencari perlengkapan rukti dan mendampingi tim rukti dari TRC Baturetno," ungkapnya.

Ketika rukti jenazah selesai dan jenazah harus dimakamkan hari itu juga, Karmini pun menjadi sopir dan mengantar jenazah untuk dimakamkan secara protokol kesehatan. "Saya sanggupi dan ini menjadi pengalaman pertama membawa jenazah COVID-19 untuk dimakamkan," terangnya.

Seiring berjalannya waktu, di awal tahun 2021, Karmini mulai berani melakukan rukti jenazah COVID-19 meski prosesnya berbeda jauh dengan jenazah non-COVID-19. Berbekal belajar secara daring dari RSI Semarang, ia akhirnya memberanikan diri untuk merukti jenazah pasien COVID-19.

"Ya semuanya bagi saya panggilan jiwa. Ya sebenarnya takut tertular. Namun dengan prokes ketat dan ikhtiar menolong semoga tidak tertular. Ya tentunya dengan doa," tuturnya.

8. Ratna Junianti, penggerak kelompok tani untuk para janda di Bandung Barat

Kisah Para Pengabdi di Pelosok Tanah Air, Setia Menjaga Harapan Ratna Junianti. (dok.IDNTimes/istimewa)

Menjadi single parent memang tidaklah mudah. Status hidup sendiri, saat ini juga masih dianggap miring oleh sebagian masyarakat Indonesia. Namun, pendapat itu dibantah oleh perempuan asal Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, bernama Ratna Junianti.

Perempuan yang akrab dengan nama panggilan Ratna itu berhasil menepis anggapan bahwa single parent tidak bisa menghidupi anak secara mandiri. Ia membuktikannya dengan membuat Kelompok Wanita Tani (KWT) Binangkit Mandiri (Binama).

Kelompok tani itu dibentuk Ratna pada 18 Februari 2013 di Desa Cibodas, Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Saat itu ia merasakan bahwa banyak perempuan bernasib sama seperti dirinya yang kini hanya berdiam diri dan pasrah.

"Banyak ibu yang senasib dengan saya, saya lihat enggak tega, terus saya coba bertani dan ajak beberapa yang mau belajar," ujar Ratna.

Mengajak para perempuan yang berstatus janda untuk bergabung dalam kelompok tani yang ia dirikan, bukan lah hal yang mudah. Awal kelompok tani ini terbentuk hanya ada tujuh orang janda yang ikut bergabung. Ia kemudian mengajak secara bertahap dan memberi kesadaran yang lainnya untuk ikut bergabung.

"Sekarang ada puluhan anggota, tetapi 40 persen janda semua. Memang kami bantu ibu single parent untuk masuk kelompok tani ini," ungkapnya.

Ratna tidak memiliki gelar sarjana pada bidang pertanian. Ia tidak memiliki gelar magister atau gelar lainnya. Ratna sampai saat ini hanya memiliki ijazah SMP. Namun dengan mencoba belajar dan karena dunia pertanian tumbuh besar di wilayahnya, akhirnya ia memutuskan untuk berkecimpung di dunia itu.

"Kami menanam berbagai macam jenis pertanian, kopi dan buah-buahan. Kami juga awalnya hanya menggunakan tanah di sekitar rumah. Namun sekarang sudah berkembang dan tanah yang kami miliki lahan demplot luas 2.000 meter persegi," tuturnya.

Selain itu, Ratna juga memanfaatkan pekarangan rumahnya menjadi Agrowisata Halimun. Dari halaman rumahnya, tumbuh subur beragam komoditi sayur yang laris di pasaran, seperti romaine lettuce atau selada romain, lolorosa atau selada merah, bawang daun, cabai keriting, cabai rawit, terong, tomat ceri, horinzo atau bayam jepang, dan mizuna atau sawi jepang.

"Hasil dari pertanian ini dikumpulkan untuk dijual kemudian dipasarkan. Alhamdulillah, kualitas sayurnya sudah masuk ke pasar modern," ungkapnya.

Hasil penjualan dikelola secara kelompok dan dibagikan kepada anggota. Dengan begitu, roda perekonomian anggotanya tetap hidup. Dalam kelompok tani yang ia dirikan ini, perempuan yang single parents bisa meracik pupuk organik tanpa bahan kimia sedikitpun. Dengan pupuk yang mereka racik sendiri, mampu menumbuhkan sayur yang lebih segar dan sehat.

"Ide itu berangkat dari bagaimana kita menekan biaya produksi. Karena beli pupuk waktu itu memang mahal, sementara bantuan pupuk sulit didapat. Akhirnya kita memanfaatkan sampah-sampah sisa makanan untuk diolah kembali," katanya.

Ia juga berharap, untuk ibu yang kini berstatus janda jangan takut untuk berubah dan jangan menganggap bahwa tidak bisa berbuat apapun dengan status itu. Menurutnya, semua perempuan hebat dan bisa menjadi pemimpin keluarga untuk anak tercintanya.

"Jangan patah semangat. Perempuan bisa, bisa menghidupi rumah dan membesarkan anak," tegasnya. 

9. Armawati Chaniago, pendiri Bank Sampah di Sicanang, Medan

Kisah Para Pengabdi di Pelosok Tanah Air, Setia Menjaga Harapan Armawati Pendiri Bank Sampah asal Medan (IDN Times/Masdalena Napitupulu)

Sumatera Utara tercatat menjadi provinsi nomor dua di Indonesia untuk industri lanjutan dari daur ulang. Keresahan melihat sampah di Sumatera Utara menjadi dasar Armawati Chaniago untuk mendirikan Bank Sampah di Sicanang, Belawan, Kota Medan.

"Saya prihatin melihat sampah di kota sudah banyak dan belum banyak orang yang fokus untuk mengelolanya," kata Armawati.

Menurutnya banyaknya sampah rumah tangga dan industri pabrik membuat volume sampah di perkotaan terus bertambah. "Sebenarnya yang menjadi permasalahan hingga kini ketika masyarakat yang sudah sadar akan sampah, tapi sistem pengangkutannya masih dicampur begitu saja," ucapnya. 

Armawati menilai program bank sampah bisa menjadi solusi. Ia hanya bermodal sebuah keprihatinan bahwa sampah di kota sudah sangat banyak dan belum banyak orang yang fokus untuk mengelolanya. Arma bercerita, pengetahuannya terkait sampah kian bertambah ketika mengikuti pelatihan di Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung. "Saya melihat di sana ternyata ada program yang namanya Bank Sampah. Kebetulan program Bank Sampah baru diundang-undang kan pada tahun 2008 dan menjadi program nasional," katanya.

Dari sana, ia belajar bahwa sampah itu sebenarnya bukan sampah sebelum kembali ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sampah itu adalah sumber daya atau bahan baku untuk industri lanjutan.

Pada tahun 2012, Arma bersama timnya memberi edukasi kepada masyarakat. Walau sempat ada penolakan, namun berkat sosialisasi akan pentingnya keberadaan Bank Sampah, Arma kini diterima di masyarakat.

"Alhamdulillah kelompok peminatnya sudah 214 kelompok di dua provinsi, Aceh dan Sumut dan anggota kita sudah lebih dari 13 ribu orang. Penghasilan dari program Bank Sampah pernah mencapai Rp1,8 miliar," ujarnya. 

Bank Sampah ini pun akhirnya bisa bekerja sama dengan Pemerintah Kota Medan, tepatnya sejak tahun 2018.

"Dibangunlah Bank Sampah induk pertama di Sicanang sekaligus pertama di kota Medan, tepatnya di samping Kantor Lurah Sicanang. Alhamdulillah hampir semua program Bank Sampah kini menyetor ke tempat kita dan kemudian kita yang berurusan dengan industri daur ulang untuk memasarkannya," tutur Arma.

Saat ini, katanya, program Bank Sampah sudah semakin dikenal dan berkembang dalam skala masyarakat. Hal itu juga dilihat dari kemandirian masyarakat untuk berhubungan langsung dengan pabrik.

Akhirnya Bank Sampah Induk pun sudah mulai mengurangi jumlah penerimaan dari Bank Sampah Unit. "Jadi dari masyarakat rumah tangga menyetor ke Bank Sampah Unit, dari Unit menyetor ke Induk. Nah kami di Induk," katanya.

Arma berharap agar masyarakat bisa berpikir kreatif terkait pengelolaan sampah untuk mengurangi jumlah sampah yang berakhir di TPA. Penting adanya kesadaran masyarakat bahwa sampah adalah permasalahan bersama.

"Kita harus bertanggung jawab. Kita yang buat sampah dan perlu diketahui, 50 persen sampah di dunia berasal dari rumah tangga. Bukan dari pabrik atau pasar. Kita semua harus bergerak memikirkan dan berbuat bahwa sampah harus dikelola dan tidak menjadi masalah lingkungan," jelasnya. 

10. Fisip mengajar, inisiator Taman Baca Masyarakat Kolong di Tanggerang Selatan

Kisah Para Pengabdi di Pelosok Tanah Air, Setia Menjaga Harapan TBM Kolong Ciputat (Dok. TBM Kolong)

Taman Baca Masyarakat (TBM) Kolong adalah pusat belajar dan perpustakaan kecil yang berlokasi di kolong jalan layang di wilayah Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten. Di TBM Kolong ini, beragam buku bacaan disuguhkan secara gratis dan terbuka untuk umum.

Melihat lokasinya yang persis di tengah keramaian Pasar Ciputat dan jalan raya, tempat ini seakan oase ilmu di tengah hiruk-pikuk dan riuh deru pasar, mesin, dan manusia.

Berbagai kegiatan positif sering dilakukan oleh para pegiat literasi atau para relawan di tempat ini. Salah satu pengelola TBM Kolong, Victoria, menyebut bahwa berdirinya tempat ini dimulai tahun 2016. Kala itu, ada keinginan para anak muda yang berasal dari beberapa komunitas yang ingin melakukan penghijauan kolong jembatan layang itu.

"Kemudian setelah banyak komunitas yang masuk. Akhirnya inisiasi dibangunnya TBM dilakukan oleh Fisip mengajar. Fisip mengajar ini salah satu unit kegiatan mahasiswa di UIN Jakarta, yang punya program mengajar dan literasi, Fisip mengajar dan OI Tangsel bergabung terbentuklah TBM Kolong," kata Victoria.

Selain menyediakan buku bacaan gratis, pengelola dan relawan di TBM Kolong juga memberikan materi-materi pembelajaran terhadap anak didik mereka yang jumlahnya ratusan.

"Untuk anak didiknya sekitar 150 anak dan pengelola. Untuk pengurus, pengajar dan relawan sekitar 50 orang," kata dia.

Ratusan anak yang datang ke taman bacaan itu merupakan anak-anak para pedagang pasar yang berjualan di Pasar Ciputat, salah satu pasar tradisional terbesar di Kota Tangsel. 

Sebelum ada TBM, jalan layang yang berada di Ciputat ini dipenuhi oleh sampah dan menjadi tempat nongkrong preman pasar. Tidak heran, pengelola taman bacaan sempat mendapat penolakan saat awal berdiri yakni tahun 2016. 

Namun seiring berjalan waktu, preman dan supir angkot yang biasa menempati tempat ini akhirnya merestui keberadaan perpustakaan itu. Aura kumuh itu kemudian berangsur hilang setelah ada taman bacaan.

Apalagi, para seniman lukis pun kemudian ikut menyumbangkan karya mereka dengan membuat mural di dinding dan pilar-pilar jalan layang itu. Taman bacaan itupun kian menarik bagi anak-anak.

11. Siti Komariah, satu-satunya guru di SD Muhammadiyah 4 Filial Sumatera Selatan

Kisah Para Pengabdi di Pelosok Tanah Air, Setia Menjaga Harapan Komariah satu-satunya guru yang mengajar di SD Muhammadiyah 4 filial (IDN Times/Rangga Erfizal)

Siti Komariah (31) memilih mengabdikan diri menjadi guru SD Muhammadiyah 4 Filial di Desa Saluran, Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin. Ia mengajar anak-anak di desa yang terletak di perbatasan Kota Palembang dan Kabupaten Banyuasin. Bagi Komariah, anak-anak harus mendapat akses pendidikan meski mereka harus berjuang dalam segala keterbatasan.

Dirinya sudah delapan tahun mendedikasikan diri di dunia pendidikan. Ia tak sedikit pun mengeluh mengajarkan anak-anak desa yang perekonomiannya terbatas. Sesungguhnya Komariah bisa saja memilih mencari pekerjaan lain yang lebih baik. Namun, rasa tanggung jawab terhadap pendidikan anak desa, memanggilnya untuk tetap bertahan.

"Saya masih mengajar di sini seperti biasa. Sebagai seorang guru, saya memiliki tanggung jawab untuk membagikan ilmu yang saya miliki ke anak-anak," ungkap Siti Komariah, Kamis (26/8/2021).

Komariah menjadi sosok guru yang luar biasa bagi murid-muridnya. Ia mengajar 21 anak Desa Saluran yang memiliki semangat untuk meraih pendidikan. Komariah bercerita, belum lama ini dirinya harus memperjuangkan anak didiknya untuk meraih beasiswa agar tidak putus sekolah.

Dirinya sempat didatangi seorang donatur yang menjanjikan memberi beasiswa hingga anak-anak yang diajarnya dapat meraih pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Komariah menganggap itu sebagai peluang yang harus dikejar anak didiknya.

"Donatur itu sempat memberi janji beasiswa kepada saya, orangtua, dan siswa. Selepas ujian kelulusan, saya teringat janji itu dan saya kejar untuk mengurusnya. Walaupun mereka bukan anak kandung, tapi saya tetap berjuang agar mimpi mereka untuk pendidikan tidak padam," ujar dia.

Akhirnya donatur itu menepati janjinya sehingga anak-anak dapat melanjutkan pendidikan. "Saya berprinsip anak-anak ini walaupun ke luar desa, mereka akan maju. Itu akan berguna bagi kehidupan mereka kelak, pun untuk desa dan masyarakat luas," ujar dia.

Sebagai sekolah cabang, kondisi bangunan tempat mereka belajar cukup memprihatinkan dibanding sekolah lain. Namun, dirinya tetap berprinsip untuk konsisten demi kelangsungan pendidikan seluruh muridnya. Komariah sempat merasakan masa-masa sulit dalam mengajar anak-anak di desa.

Tiga tahun silam, banyak guru-guru yang memilih keluar dari sekolah cabang tersebut. Tinggal dirinya seorang yang berjuang. Godaan untuk meninggalkan murid-muridnya pun sempat dirasakan Komariah.

"Saya terpanggil untuk memberikan ilmu ke anak-anak, karena di desa tidak ada tenaga pendidik lain. Mau tidak mau harus turun agar sekolah dapat bertahan," ujar dia.

Sejak awal pandemik, ia tetap menjalankan belajar tatap muka. Komariah mengaku keputusan tersebut bukan bermaksud untuk menentang kebijakan pemerintah, tetapi karena keterbatasan yang memaksa mereka harus bertahan.

Para murid tetap semangat bersekolah. Mereka menjalankan protokol kesehatan (prokes) untuk meminimalisir anak-anak terpapar virus.

"Kalau online kita khawatir anak-anak tidak akan bisa karena tidak semua anak dan orangtua di sini punya gawai untuk kapasitas online," jelas dia.

Para murid yang diajar oleh Komariah berasal dari masyarakat kelas bawah. Orangtuanya rata-rata bertani atau menjadi buruh sadap karet di desa tersebut. "Ini sudah masuk tahun ketiga saya masih mengajar sendirian, belum ada tambahan guru. Kalau dari saya inginnya ada guru tambahan. Namun aturan sekolah, satu guru minimal memegang 20 siswa, sedangkan murid saya ada 21," jelasnya. Komariah pun mengajar mereka secara bergantian dengan pola bergilir. Kelas 1 dan 2, lalu 3 dan 4, kemudian kelas 5 dan 6. 

Komariah memilih bertahan di tengah situasi tidak menentu ini. Harapannya terus menyala karena semangat anak-anak untuk belajar begitu tinggi. Semangat itulah yang selalu dipegang Komariah hingga bisa bertahan sebagai pengajar, meski gaji yang diterimanya dari sekolah tidak besar dan sering terlambat.

Gaji yang diterima Komariah jauh dari kata layak, hanya sekitar Rp500.000 per bulan. Dirinya terkadang menggunakan gaji untuk membeli peralatan sekolah.

"Siapa sih yang mau dibayar dengan gaji kecil yang untuk hari-hari saja tidak cukup. Kalau tidak ada keikhlasan hati, gak akan sanggup saya. Saya hanya berpikir bagaimana SDM desa mau dibentuk kalau tidak dari sektor pendidikan?" pungkasnya.

Tim penulis: Sri Wibisono, Alfi Ramadana, Ashrawi Muin, Anggun Puspitoningrum, Silviana, Daruwaskita, Azzis Zilkhairil, Ayu Afria Ulita Ermalia, Masdalena Napitupulu, Muhammad Rangga Erfizal, dan Muhammad Iqbal

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya