nowbali.co.id/Namhar Hernanto
Keluarga Brayut merupakan cerita rakyat Bali yang tertulis dalam gaguritan dengan pupuh Tikus Kapating (Sinom) koleksi Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali Nomor IVd 1399/14. Tulisan ini dikutip dari Jurnal Kajian Bali Volume 07, Nomor 01 bulan April 2017 berjudul "Pemaknaan cerita rakyat Brayut: Dari ideologi agraris hingga kapitalis". Jurnal tersebut ditulis oleh I Wayan Budi Utama, dari Universitas Hindu Indonesia Denpasar.
Tulisan itu menceritakan tentang Brayut, yang merupakan keluarga petani penganut Buddha, yang merayakan Hari Raya Galungan. Ketika perayaan Galungan tiba, Pan Brayut membuat berbagai macam makanan olahan daging babi sebagai sebagai sesaji (Persembahan).
Namun istrinya, Men Brayut, masih tertidur lelap karena kelelahan mengurus 18 anaknya, di mana satu anak masih dalam kandungan. Tingkah laku anak-anaknya membuat tenaga sang ibu menjadi terkuras dan tidak terurus. Termasuk tidak sempat membantu suaminya untuk menyiapkan upacara.
Ketika bangun tidur, Men Brayut langsung menuju ke dapur untuk menyantap berbagai makanan, yang tadinya sudah dipersiapkan dan dipersembahkan sang suami sebagai sesaji. Ia menyantap makanan tersebut dengan lahap tanpa mempedulikan anak-anaknya yang menangis. Tiba-tiba suaminya datang dan memarahi sang istri yang lahap menyantap makanan.
Di sanalah mereka berdebat terkait banyaknya anak-anak yang lahir. Sang suami menyalahkan istri. Sedangkan istrinya membela diri, dengan menyatakan bahwa anak-anak lahir karena sang suami tidak mampu mengendalikan nafsu birahinya.
Pan Brayut lalu belajar ilmu ketuhanan pada seorang Guru bijak bernama Pangeran Jembong, yang menguasai ajaran agama Buddha. Setelah mendapatkan banyak pelajaran, Pan Brayut mersemdi di pohon kepuh besar yang bagian bawahnya berlubang, di sebuah kuburan angker. Atas karunia Tuhan, ilmu Pan Brayut akhirnya disempurnakan.
Singkat cerita, Pan Brayut dan Men Brayut memutuskan meninggalkan anak-anaknya yang sudah besar serta menikah. Brayut meninggalkan keluarganya (Masa Grehasta) untuk menjadi Bhiksuka dan Wanaprasta, dengan mendirikan pasraman di arah timur rumah keluarganya.