Suasana kegiatan di Yayasan Dria Raba di Denpasar, yang mengasuh anak-anak disabilitas sensorik netra. (IDNTimes/Ni Ketut Sudiani)
Kesibukan yang padat mengabdi di panti membuatnya tidak memiliki waktu untuk libur. Ia menyampaikan hanya mengambil libur saat Hari Raya Galungan dan libur sekolah saja. Syukurnya, belakanga Ni Putu Alit tidak lagi sendiri, ada dua orang rekannya yang turut membantu kesibukan di dapur.
Apalagi kini usianya tak lagi muda, ia merasa kesusahan apabila terus naik turun tangga. Sempat ia merasa nyeri di tangannya dan tidak bisa mengangkat beban. Dua orang temannya tersebutlah yang kemudian menggantikan tugasnya, terutama sekali saat ia sedang tidak enak badan.
Dalam sehari, Ni Putu Alit memasak setidaknya 10 kilogram beras untuk sekitar 20-an orang. Kemudian memasak sayur dan lauk seperti ikan, telur, dan ayam. Keterampilan memasak ini ia peroleh saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam pelajaran tata boga. Kadang ia juga mencoba-coba masakan yang ada di internet.
“Menu lain-lain. Digilir. Kadang ayam digulai. Kadang-kadang nasi goreng ya. Kadang-kadang, ya pokoknya senenglah anak-anak masakan saya. Apa aja dimakan, ndak pernah mengeluh mereka. Paling ndak ayam, sambal, kerupuk,” jelasnya
Untuk menjaga stamina tubuh, ia rajin meminum dua gelas air hangat setelah bangun tidur. Kebiasaan tersebut telah dilakukannya selama masa pengabdiannya tersebut. Ia juga mengonsumsi bawang putih hitam. Menurutnya sesungguhnya tidak ada resep khusus untuk menjaga kesehatannya.
Selama masa pengabdiannya sejak tahun 1971 itu, ia mengaku tidak menerima upah. Hanya kadang dari masyarakat yang memberinya bantuan uang. Ia dan keluarganya diperkenankan makan dan tinggal di sana saja. Baru kemudian tahun 2010 lalu ia mendapatkan upah per bulannya sebanyak Rp1 juta.
“Baru itu saya tahu bagaimana rasanya menerima uang. Itu nangis saya. Itu 2010. Satu juta itu bagi saya besar,” ungkapnya.