ilustrasi bayi (pexels.com/Szabina Nyíri)
Sekitar akhir tahun 2018, I melahirkan bayi perempuan. Perasaannya berlarut bersama bahagia, sedih, dan khawatir. I takut anaknya membawa virus dan menjalani hidup seperti dirinya. Sampai-sampai ia memeriksakan anaknya ke laboratorium swasta secara mandiri untuk mengetahui lebih dini, apakah positif HIV atau tidak.
"Program PPIA itu, anak akan dites ketika usia 18 bulan. Tetapi saya sudah cemas dan ingin tahu hasilnya lebih awal. Ternyata hasilnya negatif. Begitu juga saat pemeriksaan di usia 18 bulan. Ini membuat saya lega," paparnya.
Sekadar diketahui, dalam Program PPIA, seorang ibu hamil yang positif HIV harus melahirkan secara caesar. Ia tidak boleh melahirkan normal karena dikhawatirkan akan menularkan virus kepada bayinya. Selain itu, ibu dengan HIV juga disarankan tidak memberikan ASI untuk mengurangi penularan. Ini menjadi tantangan besar lagi bagi I. Sebab keluarga besarnya mendorong dia untuk memberikan ASI.
"Jadi terpaksa berbohong kalau ASI saya tidak keluar."
I ekstra berhati-hati selama merawat si buah hati, terutama ketika dirinya terluka. Kalau ada yang terluka, dia harus segera menutupnya. Biasanya I langsung menyerahkan anaknya kepada suami atau mertua untuk diurus sementara.
Kini anaknya memasuki usia empat tahun dan sehat. I bersama suami merencanakan punya momongan lagi, dan sedang mempersiapkan segala persyaratannya. I kemudian berpesan kepada para ibu dengan HIV, bahwa kesempatan mereka memiliki anak yang sehat sangatlah besar asal rutin meminum obat ARV.