Selamat Jalan Bung Umbu Landu Paranggi, Metiyem Telah Pergi ke Surga

Ruang sunyi sang pejalan Kehidupan Puisi

Denpasar, IDN Times – Penyair Umbu Landu Paranggi (ULP) telah berpulang di usia 77 tahun. Kepergian sang guru dan sahabat yang begitu hangat, menyisakan duka mendalam bagi keluarga maupun anak-anak didiknya.

Umbu sempat dirawat di Rumah Sakit Bali Mandara, Sanur, Kota Denpasar, sejak Sabtu (3/4/2021). Sang Presiden Malioboro mengembuskan napas terakhirnya pada Selasa (6/4/2021) pukul 03.55 Wita.

Penghormatan kepada almarhum Umbu Landu Paranggi dilaksanakan serangkaian dengan prosesi Kuru Kudu, sebuah ritual adat Sumba oleh pihak keluarga pada Senin (12/04/2021) pukul 13.00 Wita di Taman Makam Mumbul, Nusa Dua, Kabupaten Badung.

Upacara Kuru Kudu berintikan mengantarkan ULP ke ruang sunyi untuk beristirahat sementara, sebelum nantinya pemakaman dilakukan di tanah Sumba. Pada Sabtu (10/4/2021), sempat pula digelar Malam Doa untuk Umbu Landu Paranggi di Jatijagat Kampung Puisi, Kota Denpasar.  

Umbu, sang Merpati, kini telah terbang ke surga.

Ya, Umbu adalah Metiyem. Metiyem adalah Merpati. Itulah sebutan yang disematkan orang-orang terdekatnya kepada almarhum, sebagaimana tertulis pada buku Metiyem Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi (Agustus 2019), sebuah catatan dan kenangan yang dituliskan para sahabat dan murid Umbu.

Baca Juga: Mengenang Umbu Landu Paranggi, Cak Nun: Satu-satunya Melebihi Sufi

1. Seorang diri menjalani olah pembelajaran hidup

Selamat Jalan Bung Umbu Landu Paranggi, Metiyem Telah Pergi ke SurgaPenyair Umbu Landu Paranggi. (Dokumentasi foto dalam buku Metiyem)

Lahir di Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 10 Agustus 1943, Umbu dikenal sebagai sosok yang menjalani olah pembelajaran hidup dan kreatif seorang diri. Dalam tradisi Bali kuno, sosoknya laksana Metiyem atau Merpati, memiliki kemampuan dan ketahanan terbang membumbung tinggi ke angkasa, melebihi burung lain dalam aduan.

Arti Metiyem dalam konteks lomba adalah tersembunyi di relung kulminasi antara langit dan bumi, sebuah pencapaian sempurna dari ketinggian terbang. Emha Ainun Nadjib menggambarkan dalam esainya pada buku itu, di mana para pecinta burung-burung merpati memperlombakan ratusan Metiyem dengan menerbangkannya ke angkasa.

Semua pengagum keindahan berdebar-debar menyaksikan kelompok Merpati yang turun dari angkasa. Mereka yang duluan turun adalah rombongan yang kalah. Ketika semua menyangka sudah tidak ada lagi Merpati yang mengembara di angkasa, tiba-tiba muncul Merpati yang menukik dan menembus mega, tidak lain adalah Umbu sendiri. Umbu yang hidup di balik gumpalan-gumpalan awan.

“Ternyata yang saya pelajari dari Umbu bukanlah penulisan puisi melainkan kehidupan puisi.”

Cak Nun, panggilan akrab Emha Ainun Nadjib, menuturkan, ketika Umbu tinggal di Bali, hidupnya lekat dengan idiom kehidupan puisi.

Ia berpuasa dari kemewahan dan gegap gempita dunia. Ia meninggalkan harta, kekuasaan, kemasyhuran, dan menyimpan uang dalam bungkusan plastik, lalu dipendamnya di tanah. Umbu digambarkan sebagai sosok yang bahagia dan khusyuk dalam kesunyian dan ketiadaannya.

Baca Juga: Sang Legenda Berpulang, Kenangan Sahabat Penyair Umbu Landu Paranggi

2. Kebebasan yang memilih pergi ke negeri puisi

Selamat Jalan Bung Umbu Landu Paranggi, Metiyem Telah Pergi ke SurgaPenyair Umbu Landu Paranggi. (Dokumentasi foto dalam buku Metiyem)

“Maka ia pun memutuskan untuk berangkat ke negeri puisi.”

Penyair Sapardi Djoko Damono mengingat Umbu seperti pangeran berkuda di tengah sabana yang membentang antara perbukitan dan laut. Batasnya adalah cakrawala. Ia menguasai seluruh pemandangan. Umbu baginya adalah sebuah kebebasan.

Dari ruang terbatas di tepi Malioboro, Yogyakarta, sosok Umbu menyiarkan berita bahwa di dunia yang lain, ada sesuatu yang disebut bait, larik, ritma, aliterasi, asonansi, repetisi, dan metaphor. Ada pula simbol yang bisa membantu menciptakan alam yang lebih luas dan lebih bebas dari sekadar hal-hal yang ada di sekitar kita.

Pada prolog buku itu, Sapardi menggambarkan puisi yang didengar dan dilihat di sabana, lenyap ketika Umbu menutup telinga dan memejamkan mata. Ia tidak akan bisa membawanya ke mana pun, ia hanya bisa menyimpannya untuk dirinya sendiri, jauh di dalam jiwanya. 

"Ia tampak menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar dunia kelisanan, ia memimpikan aksara yang mampu menyimpan segala yang di dalam dirinya dan yang berkisar di sekitarnya."    

3. Taman untuk mereka yang mencintai hidup

Selamat Jalan Bung Umbu Landu Paranggi, Metiyem Telah Pergi ke SurgaPenyair Umbu Landu Paranggi. (Dokumentasi foto dalam buku Metiyem)

“Tugas saya sejak di Yogya sampai Bali selalu bikin taman. Taman kreativitas untuk menemukan orang-orang yang mencintai hidup.

Penyair selalu menempuh jalan sunyi dengan misi suci. Sunyilah yang menginspirasi untuk melahirkan buah berkah bagi kedalaman kemanusiaan. Percik permenungan yang dituliskannya adalah sari-sari dari kejujuran untuk membangun moralitas.

Begitu permulaan paragraf dalam buku Metiyem yang diungkapkan oleh penulis dan budayawan Putu Fajar Arcana. Diceritakan pula, menurut Umbu, pada tahun 1960 keberangkatannya dari Sumba ke Yogyakarta adalah untuk belajar di SMA Taman Siswa.

"Kata taman itu menancap di kepala saya. Sayang saya terlambat sehingga akhirnya sekolah di SMA Bopkri Kotabaru. Tetapi malah di situ ketemu Ibu Lasiyah Soetanto, guru yang tidak menggurui." 

Beberapa tahun kemudian, sesampainya di Bali, Umbu membangun taman, taman untuk menemukan orang-orang yang mencintai hidup.

Dalam suatu perbincangan, Umbu disebut tidak mempunyai rumah dan dikenal sebagai sosok yang misterius, sulit ditemui keberadaannya di Bali. Ya, sang penyair berumah pada kata-kata. Ia berjalan mengelilingi Bali karena ia menemukan kata-kata tak pernah ingkar janji. 

Selamat Jalan Bung Umbu Landu Paranggi, Metiyem Telah Pergi ke SurgaKuru Kudu Umbu Landu Paranggi (IDN Times/Ayu Afria)

Selamat jalan Bung Umbu, istirahatlah dengan tenang di ruang sunyimu, di rumah kata-kata sang pejalan Kehidupan Puisi.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya