Jadi Guru Honorer di Bali, Arnold: Ini Panggilan Jiwa

Guru honorer gak bisa ngomong soal upah

Denpasar, IDN Times – Arnoldus Dhae (47) selain menjadi wartawan senior, ia juga berprofesi sebagai guru privat dan guru honorer di beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA) Kota Denpasar untuk mata pelajaran Agama Katolik. Ditemui disela-sela aktivitasnya, Arnold mengungkapkan kebahagiaannya menjadi seorang guru honorer adalah ketika melihat muridnya baik, berguna dan berhasil di bidang apa saja.

“Jadi guru itu sudah menyangkut panggilan jiwa. Dia bisa memberikan apa saja kepada muridnya sejauh bisa membuat karakter muridnya itu bagus. Ini fungsi guru sebenarnya. Jadi guru itu tidak hanya sekadar mengajar ilmu, tapi juga mendidik orang menjadi baik,” jelasnya, pada Rabu (25/11/2020).

Sebelas tahun menjalani profesi guru privat dan honorer, pria kelahiran 1974 ini tidak bisa mengungkapkan kepuasannya itu dengan kata-kata. Banyak pengalaman yang hanya ia rasakan dalam hati saja. Apalagi bagi seorang guru pendidikan di bidang agama dan pendidikan moral, semuanya memiliki tanggung jawab untuk membuat murid tidak hanya mendapatkan nilai di atas kertas saja. Lebih dari itu, bagaimana ilmu tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: 60 Persen Orangtua Siswa di Klungkung Ingin Belajar Tatap Muka

1. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak efektif untuk bidang agama dan pendidikan moral

Jadi Guru Honorer di Bali, Arnold: Ini Panggilan JiwaIlustrasi belajar daring di tengah pandemik COVID-19 yang kian masif di Indonesia (ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah)

Arnold sebelumnya menjadi guru privat, yang kemudian jadi guru honorer di sekolah formal selama dua tahun. Ia mengajar enam kelas dua kali dalam seminggu di dua lokasi yang berbeda. Yaitu SMA 8 Denpasar dan SMA 1 Denpasar. Namanya juga sudah masuk ke dalam e-kepegawaian Provinsi Bali.

Ia menilai, PJJ berpotensi terjadinya lost generation selama pandemik, sesuai ungkapan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim.

“Di era pandemik ini PJJ, pembelajaran jarak jauh untuk konteks pendidikan agama itu menurut saya agak sedikit kurang. Karena ini kembali kepada, kalau pendidikan agama ini adalah pendidikan karakter. Bukan dia di atas kertas. Ya saya sepakat dengan Menteri Nadiem Makarim, dia bilang nanti akan terjadi lost generation. Itu benar terjadi lho,” ungkapnya.

Ia lalu mencontohkan konkretnya: PJJ membuat para murid mendapatkan tugas untuk membantu orangtuanya. Sehingga murid hanya akan menyapu ruangan sambil merekam video kegiatannya. Setelah video itu selesai dua menit, murid akan kembali bermain. Kondisi inilah yang ia nilai sebagai pembohongan dan tidak ada pembentukan karakter sama sekali.

“Memang lost generation terjadi di situ,” katanya.

2. Pendidikan moral untuk generasi sekarang jauh berbeda

Jadi Guru Honorer di Bali, Arnold: Ini Panggilan Jiwaunsplash/austindistel

Arnold lantas menggambarkan perbedaan sikap yang jauh antara generasi dulu dan sekarang. Kalau dulu, seorang murid masih menaruh hormat kepada gurunya. Sekarang malah seperti tidak ada batasan. Terlebih jika seorang guru yang ingin mendisiplinkan murid dengan cara mencubit, maka sudah dianggap sebagai kekerasan yang berujung pada jalur hukum.

“Di zaman saya itu, guru dihormati. Kita jalan kita salamin, hormat. Bahkan ada sambil tertunduk-tunduk. Maka ada yang lari takut guru. Sekarang mah kalau lihat guru, kita colek begini ya. Mungkin saking akrabnya atau gak ada jaraknya. Saya gak tahu juga,” katanya.

Ia juga menyoroti pendidikan dari keluarga terhadap anak-anaknya yang seharusnya lebih dari pendidikan di sekolah. Karena sebenarnya waktu anak lebih banyak bersama keluarga. Sehingga lebih mudah untuk membentuk karakter sang anak.

Lagi-lagi, pendidikan di Indonesia disandingkan dengan Irlandia dan Jepang. Kalau di Jepang mulai Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) masih belajar soal pendidikan karakter. Sementara di Indonesia, anak TK sudah diajarkan baca tulis bahkan matematika.

Melihat kondisi itu, Arnold kemudian mengadopsi sistem pembelajaran dari negara luar, yang kiranya baik untuk anak didiknya. Misalnya, meminta murid untuk mengeksplor sebuah materi. Arnold lebih fokus kepada bagaimana murid mencerna dan mempraktikkan materinya dalam kehidupan sehari-hari.

3. Guru tidak bisa ngomong soal pengupahan

Jadi Guru Honorer di Bali, Arnold: Ini Panggilan JiwaIlustrasi dompet dan keuangan (IDN Times/Dwi Agustiar)

Sebagai seorang guru, Arnold mengaku tidak bisa berbicara soal pengupahannya. Karena memang jauh dari Upah Minimum Regional (UMR). Terlebih guru honorer yang jam kerjanya juga part time (Paruh waktu). Ia sendiri hanya mengantongi Rp450 ribu per bulan dari satu sekolah. Bayarannya per jam Rp50 ribu sebagai guru honorer.

“Ya karena saya guru Agama, gaji kecil-kecil gak apa-apa ya. Yang penting itu anak berhasil,” ungkapnya.

Membahas soal penghasilan, ia tidak sepakat dengan nilai honor yang diterima oleh para guru honorer. Setidaknya gaji guru dibuat besar, mengingat perannya dalam mendidik karakter bangsa. Namun ia menduga ini hanya soal kebijakan, alokasi anggaran dan lainnya.

“Dua puluh persen Undang-Undang itu sudah besar sekali baik APBN atau APBD. Sudah besar. Nah, tinggal pengelolaan ini ya. Ini juga soal kebijakan. Soal policy ini. Di mana-mana anggaran pendidikan itu besar. Tapi apakah alokasi untuk honorer ada atau tidak, saya gak tahu.”

Idealnya, semua guru mendapatkan penghasilan yang layak. Karena tidak dipungkiri, guru honorer perannya sama dengan guru-guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau profesional.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya