Bersyukurlah, Orang yang Sensitif Cocok Jadi Penyair Lho

Wah, mimin sensitif terus

Puisi merupakan ide yang dibungkus dengan bahasa-bahasa. Tapi tak mudah juga untuk merangkai kata menjadi sebuah puisi. Puisi yang bagus menurut Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Ganesha, Kadek Sonia Piscayanti, adalah ungkapan dari hal-hal yang benar dialami oleh penyair alias refleksi cermin kenyataan. Syair yang cukup kuat akan hidup dan tinggal di kehidupan penyair itu sendiri, yang disebutnya setia seperti cinta.

Namun rupanya banyak yang tidak menyadari, bahwa orang-orang yang memiliki sifat sensitif cenderung memiliki kemampuan menyair. Kok bisa ya? Berikut ini penjelasan Sonia:

1. Seseorang yang sensitif bisa membuat puisi. Artinya, ia mampu memaknai setiap peristiwa meskipun hanya melihat kejadian daun yang berguguran

Bersyukurlah, Orang yang Sensitif Cocok Jadi Penyair Lhodimokratiki.gr

Sonia menjelaskan, bahwa kemampuan menyair ada hubungannya dengan sifat sensitif yang dimiliki seseorang. Bukan lebay (Berlebihan atau norak). Tapi memaknai dan mencari mengapa hal itu terjadi. Apa yang relate (Berhubungan) dengan kehidupan seseorang, justru bisa memunculkan ide-ide kreatif puisi.

“Ya pasti penyair kan pasti sensitif. Kalau tidak sensitif, nggak bisa bikin puisi. Jadi dia lihat daun jatuh saja terharu, kan? Dalam hati terharu. Lihat burung sayapnya lepas, terharu. Sensitif artinya peristiwa itu dimaknai,” jelas Sonia.

Namun kemampuan berpuisi juga harus diimbangi oleh banyak membaca juga. Harus sering pergi melihat dunia luar.

“Ngobrol dengan manusia ya bukan ngobrol dengan handphone. Tapi manusia, melalui matanya melalui hatinya. Itu benar-benar membantu,” terangnya.

2. Puisi adalah intisari dari sebuah peristiwa, namun juga bisa berangkat dari buku diary

Bersyukurlah, Orang yang Sensitif Cocok Jadi Penyair LhoPixabay.com/Muna Waroh

Menurut Sonia, sumber puisi akan lebih bermakna jika berangkat dari kejadian sehari-hari yang kita rekam. Namun juga bisa bersumber dari diary atau buku harian.

“Tapi tentunya kan berbeda. Menulis diary kan kita menulis apa saja. Puisi kan mana rasa yang paling kuat, yang memberi efek kepada orang lain ketika disuarakan. Intisari dari sebuah peristiwa. Punya diary dan kebiasaan mencatat suatu cara menuju menulis kreatif,” tegasnya.

3. Remaja di Bali berpotensi bisa menulis puisi. Setiap tahunnya pasti ada yang baru

Bersyukurlah, Orang yang Sensitif Cocok Jadi Penyair Lhopexels.com/picjumbo.com

Perempuan yang juga memiliki Komunitas Mahima ini membenarkan,jika banyak remaja Bali yang memiliki potensi luar biasa. Hal ini diukur dari munculnya penulis-penulis baru setiap tahun di komunitasnya.

“Setiap tahun selalu ada hal baru yang kita temukan. Kemarin kami memiliki 27 penulis muda. Jadi 27 itu cukup banyak ya. Kalau dibilang secara angka, dalam satu tahun ada 27 penulis baru itu sudah besar banget. Satu saja sebenarnya bersyukur banget. Meskipun pada kenyataannya diseleksi oleh alam. Bertahan apa nggak,” ungkapnya.

Tetapi paling tidak, secara bakat di Mahima selalu menemukan hal-hal baru. Penulis-penulis baru bermunculan. Banyak tema baru juga selalu bermunculan.

“Harus optimis di Bali. Mungkin karena di Bali inspiratif ya. Bali sendiri kan sudah punya taksu tempatnya. Pintar pintar kita saja. Tanahnya kan sakti. Jadi semua orang bisa jadi seniman. Kemudian seniman yang mampu bertahan seperti apa kan gitu. Masih harus dibuktikan dengan waktu,” terangnya.

Pun diakuinya pemerintah juga mendukung dan semakin sadar. Apalagi dengan adanya literasi. “Tapi kita harus tetap mencari jalan sendiri, jalan terus,” pesannya.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya