Kisah Ni Putu Alit, 50 Tahun Mengabdi di Dapur Panti Dria Raba Bali

Perempuan Bali yang berjuang dalam sunyi

Cuaca cukup terik saat kami sampai di depan Panti Guna Dria Raba pada Kamis (26/8/2021) sore. Terasa keraguan melangkahkan kaki ke belakang gedung sekolah yang berada di Jalan Sersan Mayor Gede, Denpasar. Bukan lelah, tapi rasa bangga akan sosok yang akan kami temui membuat langkah bergetar.

Ia memang bukan pahlawan yang tercatat secara administrasi dan mendapatkan gelar. Apalagi diperingati dengan upacara kenegaraan. Tapi sosok ini adalah pahlawan yang terkenang di hati para anak panti yang sebagian besar penyandang disabilitas sensorik netra.

Tidak main-main, ia mengabdikan diri sudah setengah abad mengurus dapur panti. Selama itu pula, ia terus menerus bangun dini hari. Perempuan asal Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung tersebut bernama Ni Putu Alit (69).

Berjalan ke luar menghampiri kami yang menunggunya duduk di kursi, ia yang sebelumnya masih menyetrika baju, kaget mendengar kedatangan kami.

Baca Juga: Kenali I Ketut Adiputra Karang, Millennials Dirut Jasamarga Bali Tol

1. Sejak berusia 19 tahun, ia sudah bertanggung jawab mengurus makanan anak panti

Kisah Ni Putu Alit, 50 Tahun Mengabdi di Dapur Panti Dria Raba BaliNi Putu Alit sudah mengabdi selama 50 tahun di dapur Yayasan Pendidikan Dria Raba (IDN TImes/Ayu Afria))

Ni Putu Alit pertama kali mengenal panti dan bekerja di sana karena ketika itu kakaknya menjadi guru di sekolah tersebut. Tercatat sejak tahun 1971 Ni Putu Alit mengabdikan dirinya di Panti Guna Dria Raba, saat usianya masih 19 tahun. Ia memang tidak meneruskan sekolah karena saat itu tengah mengandung anak pertamanya. Ia pun akhirnya bekerja membantu memasak di dapur untuk anak panti dan terus menjalaninya hingga saat ini.

“Saya terus di sini meladeni anak-anak sampai sekarang,” ungkapnya.

Sehari-hari ia harus menyiapkan makanan untuk 66 anak panti. Padahal ia baru saja melahirkan bayi perempuan saat tahun 1971 itu. Tidak semudah yang dibayangkan, tugasnya setiap hari bangun pukul 04.00 Wita, memasak makanan secara tradisional. Hanya menggunakan kukusan dan kayu bakar. Setelahnya ia belanja ke Pasar Sanglah berjalan kaki untuk stok sayuran dan lauk hari selanjutnya.

Tidak hanya mengurusi dapur, ia sering menemani tidur anak-anak panti yang baru saja masuk. Menenangkan mereka yang menangis karena harus tinggal di panti dan terpisah dengan keluarga. Kadang Ni Putu Alit juga membantu memandikan anak-anak.

“Kalau ada anak-anak yang baru datang, ya itu dah saya keloni. Gimana seperti saya punya anak gitu. Kadang-kadang ada sampai dua minggu dia menangis. Saya keloni akhirnya dia betah,” jelasnya.

2. Tidak pernah dapat libur dan baru mendapatkan upah tahun 2010

Kisah Ni Putu Alit, 50 Tahun Mengabdi di Dapur Panti Dria Raba BaliSuasana kegiatan di Yayasan Dria Raba di Denpasar, yang mengasuh anak-anak disabilitas sensorik netra. (IDNTimes/Ni Ketut Sudiani)

Kesibukan yang padat mengabdi di panti membuatnya tidak memiliki waktu untuk libur. Ia menyampaikan hanya mengambil libur saat Hari Raya Galungan dan libur sekolah saja. Syukurnya, belakanga Ni Putu Alit tidak lagi sendiri, ada dua orang rekannya yang turut membantu kesibukan di dapur.

Apalagi kini usianya tak lagi muda, ia merasa kesusahan apabila terus naik turun tangga. Sempat ia merasa nyeri di tangannya dan tidak bisa mengangkat beban. Dua orang temannya tersebutlah yang kemudian menggantikan tugasnya, terutama sekali saat ia sedang tidak enak badan.

Dalam sehari, Ni Putu Alit memasak setidaknya 10 kilogram beras untuk sekitar 20-an orang. Kemudian memasak sayur dan lauk seperti ikan, telur, dan ayam. Keterampilan memasak ini ia peroleh saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam pelajaran tata boga. Kadang ia juga mencoba-coba masakan yang ada di internet.

“Menu lain-lain. Digilir. Kadang ayam digulai. Kadang-kadang nasi goreng ya. Kadang-kadang, ya pokoknya senenglah anak-anak masakan saya. Apa aja dimakan, ndak pernah mengeluh mereka. Paling ndak ayam, sambal, kerupuk,” jelasnya

Untuk menjaga stamina tubuh, ia rajin meminum dua gelas air hangat setelah bangun tidur. Kebiasaan tersebut telah dilakukannya selama masa pengabdiannya tersebut. Ia juga mengonsumsi bawang putih hitam. Menurutnya sesungguhnya tidak ada resep khusus untuk menjaga kesehatannya.

Selama masa pengabdiannya sejak tahun 1971 itu, ia mengaku tidak menerima upah. Hanya kadang dari masyarakat yang memberinya bantuan uang. Ia dan keluarganya diperkenankan makan dan tinggal di sana saja. Baru kemudian tahun 2010 lalu ia mendapatkan upah per bulannya sebanyak Rp1 juta.

“Baru itu saya tahu bagaimana rasanya menerima uang. Itu nangis saya. Itu 2010. Satu juta itu bagi saya besar,” ungkapnya.

3. Hatinya sudah menyatu dengan anak-anak panti

Kisah Ni Putu Alit, 50 Tahun Mengabdi di Dapur Panti Dria Raba BaliSuasana kegiatan di Yayasan Dria Raba di Denpasar, yang mengasuh anak-anak disabilitas sensorik netra. (IDNTimes/Ni Ketut Sudiani))

Tangan keriputnya masih cukup sigap menahan air mata yang akan menetes saat mengingat kembali suka dan duka selama 50 tahun mengabdi. Mengingat kenangan saat harus memasak menggunakan kayu bakar dan kukusan. Di mana saat itu belum ada alat penanak nasi bertenaga listrik, membuatnya harus lebih ekstra mengeluarkan tenaga. Soal angkat mengangkat kukusan, baginya sudah biasa.

“Dulu parahnya pakai kayu bakar. Aduh pokoknya jerih payah di sini itu, bagaimana ya bilangnya ya. Ada sukanya. Ada dukanya. Pakai kompor minyak tanah juga pernah,” ungkapnya sambil menyeka air mana yang akan menetes.

Saat ditanya apa kebahagiaannya atas pengabdiannya tersebut? Suara Ni Putu Alit sedikit terhenti seakan bingung menggambarkan kebahagian yang selama ini ia rasakan. Pikirannya menerawang seolah mencari kata yang tepat bagaimana caranya menceritakan kebahagiaan yang selama ini ia rasakan.

Sesaat kemudian ia menyampaikan, ia bertahan karena bahagia jika bertemu dengan anak-anak panti. Itu sebabnya ia terus memilih mengabdi, menyiapkan makanan di dapur. Meladeni dan menyajikan makanan bagi puluhan anak Panti Guna Dria Raba.

“Emang sih capeknya luar biasa. Iya (di dapur). Tapi astungkara tidak pernah sakit keras. Kalau senangnya itu, kalau masak dia makan, habis dimakan. Di piringnya tidak ada yang sisa itu,” jelasnya.

“Kayaknya hati saya menyatu dengan anak-anak. Gitulah. Kasihan kalau dia ditinggal gitu. Siapa yang nanti ngurusnya gitu. Semasih saya bisa, ya saya lanjut. Kalau sudah ndak bisa, ya saya nyerah. Mungkin pengabdian saya di sini. Karena nggak punya pekerjaan lain,” imbuhnya.

Menurutnya banyak anak panti yang kini sudah berbaur dengan masyarakat dan memiliki keluarga sendiri kerap mencarinya ketika kembali ke Bali. Mereka yang merupakan tamatan sekolah dan pernah tinggal di panti ini, datang mencarinya. Begitu bertemu, mereka langsung memeluknya bagaikan ibu sendiri.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya