Didik Anak Berkebutuhan Khusus di Bali, Febby: This Kids Need Me

Ia merasa ini panggilan, walau tamatan ahli gizi di Filipina

"Lulusan luar negeri hanya jadi guru?"

Pertanyaan itu tidak jarang didapatkan oleh anak-anak muda yang usai menempuh studi di luar negeri, akhirnya memilih menjadi guru. Kata-kata yang dilontarkan dalam pertanyaan itu seolah-olah menyatakan bahwa profesi guru kurang bergengsi. Padahal pengabdian seorang guru dalam mendidik anak-anaknya tidak hanya sekadar urusan belajar dan mengajar.   

Sebagaimana yang dialami oleh perempuan muda asal Jakarta jebolan kampus Ahli Gizi di Filipina tahun 2016, Febby Pasaribu (24). Perjalanannya menjadi guru di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Focus Learning Support Center di Kuta, Kabupaten Badung, penuh dengan lika-liku. Banyak tantangan yang ia hadapi, termasuk restu dari kedua orangtuanya yang hingga saat ini tak kunjung menyertainya.

Namun semangatnya untuk mengabdi sangatlah besar. Ia mengatakan tidak akan menyerah karena terus mendapatkan support dari teman-temannya di gereja. Baginya, menjadi guru bagi anak-anak tersebut adalah sebuah jawaban dari Tuhan atas doa-doanya. Febby sudah menjadi guru bagi anak-anak berkebutuhan khusus tersebut sejak Juli 2017 lalu.

Lalu bagaimana Febby Pasaribu akhirnya bisa meluruhkan gengsinya dan mencintai jalannya sebagai guru bagi anak-anak berkebutuhan khusus? Berikut kisah Febby yang ia bagikan kepada IDN Times.

Baca Juga: Kisah Ayu 11 Tahun Naik Turun Bukit Demi Mengajar di Nusa Penida

1. Usai tamat, sempat ingin bekerja di sebuah rumah sakit di Jakarta

Didik Anak Berkebutuhan Khusus di Bali, Febby: This Kids Need MeIlustrasi rumah sakit. IDN Times/Arief Rahmat

Suasana Kuta tampak cerah ketika IDN Times menyambangi Focus Learning Support Center di Jalan Patih Jelantik, Central Parkir Kuta. Di sana, Febby bercerita bahwa sebelum menjadi guru non formal, usai lulus, ia sempat ingin bekerja di sebuah rumah sakit di Jakarta. Namun bibinya malah menawari untuk bekerja dengan anak-anak yang berkebutuhan khusus di Bali. Ia sempat ragu menerima ajakan itu. 

Kebimbangannya terjawab setelah ia berdoa. Febby mengatakan pada dirinya sendiri, apabila ia bisa memainkan sebuah lagu dengan instrumen piano dengan sangat baik, berarti memang ia harus memilih jalan bekerja sebagai guru anak-anak berkebutuhan khusus di Bali. Ternyata ia berhasil memainkan lagu tersebut dan menganggap itulah jawaban Tuhan atas doanya.

“Karena bisa. Okay I take this job. Gitu,” ungkapnya.

Sebelum ke Bali, Febby terlebih dahulu mengikuti pelatihan selama dua bulan di Surabaya. Awalnya ia menganggap pekerjaan ini sebagai batu lompatan saja. Namun seiring berjalannya waktu, ia merasakan Tuhan semakin mengajarinya untuk memahami anak-anak yang berkebutuhan khusus ini.

“Tapi lama kelamaan kok Tuhan ngarahin ke sini terus. Memang sih lama-kelamaan merasa may be passion dari dulu gitu. Cuman ya karena dulu jurusannya apa, kemudian kerja di mana? Tapi kan kita belajar mengenal anak lebih dalam,” ungkapnya. 

“Lalu gimana bisa ke sini? Panggilan Tuhan juga kali. Gak ngerti juga,” imbuhnya.

Akhirnya, pada tahun 2020 lalu, bersamaan dengan awal pandemik COVID-19, Febby semakin yakin dengan pilihannya mengabdi mendidik anak-anak ini. Ia memilih membatalkan rencananya melanjutkan sekolah di Malang. Padahal sudah dua kali ia sempat berencana untuk berhenti bekerja di sana.

May be ini kali. Tuhan mau ngarahin ke sini. Dan I am a teacher gitu. Biasanya sekarang orang-orang kerja cari uang gitu. Bukan lihat ke duitnya. Tapi this kids need me gitu,” jelasnya.

2. Awalnya tidak mudah menjalin kedekatan dengan anak-anak didiknya

Didik Anak Berkebutuhan Khusus di Bali, Febby: This Kids Need MeFebby Pasaribu (Dok. IDN Times / Focus Learning Support Center)

Pada masa-masa awal mengajar anak-anak berkebutuhan khusus tersebut, Febby merasa kaget, terutama dalam menjalin kedekatan dengan anak-anak. Selain itu juga memang karena berbeda jauh dari disiplin ilmu yang ia pelajari di sekolah.

Menurutnya tantangan terberat adalah mengerti apa yang diinginkan oleh anak-anak tersebut. Mereka memiliki keterbatasan dalam hal verbal sehingga cenderung lebih identik ke behavior atau kebiasaannya. Karenanya, diperlukan ketegasan agar anak mau mengikuti arahan dan tidak sampai guru yang mengikuti kemauan mereka.

“Kita harus bisa bikin anak itu ngikutin kita,” katanya.

Febby menceritakan, beberapa anak yang ia temui kadang tiba-tiba menangis. Awalnya ia memang sempat bingung cara menghadapinya. Namun seiring berjalannya waktu, akhirnya Febby semakin paham. Menurut Febby, anak-anak tersebut juga mengalami kesulitan dalam menulis.

Selain itu, anak-anak tersebut juga cenderung lebih cepat emosi dan ekspresif. Jadi diperlukan cara dan pendekatan yang berbeda-beda untuk menangani setiap anak. Pendekatan yang sering ia gunakan adalah mengajak anak-anak itu bermain dan berusaha membuat mereka menyadari bahwa ada orang di sebelahnya. Hingga akhirnya bisa menemukan satu topik ketertarikan yang sama antara murid dan guru.

“Walaupun dia gak respons kita, tempelin saja terus. Dia main apa, ikut-ikut sambil cari kontak matanya gitu. Jadi memang lebih kita yang dekatin dia dulu supaya dia tahu, oh ada orang di samping aku, yang bakal ngikutin aku terus. Baru lah pelan-pelan kita arahin behavior-nya,” tutur Febby. 

“Satu kali sesi kan satu anak. Dalam satu hari ada empat sesi. Jadi tiga sampai empat anak (Dalam sehari). Di sini kan tipenya one on one,” tambahnya. 

3. Bahagia saat orangtua anak didiknya menyampaikan kabar anaknya sudah bisa mandiri

Didik Anak Berkebutuhan Khusus di Bali, Febby: This Kids Need MeFebby Pasaribu (Dok. IDN Times / Focus Learning Support Center)

Ketika kembali mengingat masa awal menjadi guru di sana, Febby mengatakan saat itu dirinya kerap menangis dan berat hati menjalaninya. Ia sering hampir menyerah. Tak jarang hatinya bergumul dengan berbagai pertanyaan. Namun semakin hari, ia akhirnya sadar akan satu hal yakni Tuhan menitipkannya di tempat itu, atau anak-anak berkebutuhan khusus itu yang dititipkan kepadanya.

“Anak ini bukan cuma diajari verbal ataupun apa. Mereka ada pipis, ada poop gitu kan. Itu pun sempat saya merasa, ya ampun kok aku jadi harus ngebersihin kotoran orang lain (Anak didik). Gitu kan?” ungkapnya.

Febby menceritakan pernah mendidik seorang anak berusia 7 tahun yang didiagnosa mengalami down syndrome dan autism. Baginya, tanggung jawab itu cukup berat, sebab kadang anak didiknya suka meludah, melempar barang, buang air kecil, dan poop di tempat. Selain itu, beberapa anak juga kadang tiba-tiba suka mencakar dan menyerang. 

“Dibersihin, dilempar pampersnya. Sampai segitu. Jadi kalau dilakuin, kami biarkan dulu. Tapi kami kasih tahu konsekuensi supaya dia tahu, ini lho, kamu gak boleh ngelakuin ini,” jelasnya.

Upayanya seolah terbayarkan dan kebahagiaan itu terasa saat orangtua anak didiknya menyampaikan kabar bahwa anaknya sudah mulai bisa mandiri melakukan sesuatu yang diajarkan.

“Ada satu ayat Al-Kitab yang aku ingat sampai sekarang. Jadi, mungkin kamu ditempatkan ke situ supaya kekurangan mereka menjadi kelebihan kamu. Dan kekurangan kamu juga menjadi kelebihan mereka. Jadi kamu saling melengkapi,” katanya.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya