Aipda Andrew, Korban Penembakan Kelompok Santoso Masih Trauma

Ia tertembak saat menyelamatkan kepala tanpa badan di Poso

Denpasar, IDN Times – Aipda Andrew Maha Putra (33) merupakan anggota Kepolisian Daerah (Polda) Bali yang pernah menjadi korban bentrok bersenjata, saat bertugas di Satuan Brimob Polda Sulawesi Tengah (Sulteng). Saat itu, laki-laki yang akrab dipanggil Andre ini ditunjuk menjadi anggota Satuan Petugas (Satgas) Operasi Tinombala, dan bergabung bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menangkap kelompok teroris Santoso.

Kaki kanan Andre harus diamputasi, tulang belikatnya patah dan satu peluru masih bersarang di dada kirinya usai mendapat empat kali tembakan dari kelompok Santoso di perbukitan wilayah Salogose, Sausu, Sulteng pada 31 Desember 2018 lalu. Kelompok tersebut menggunakan senjata laras panjang M16 atau senapan serbu yang memang digunakan untuk perang dengan kaliber 5,56.

Anak pertama dari pasangan almarhum Kompol (Purn) I Gede Ngurah Sugandhi dan Mince Lembang ini awalnya sedang berada di Desa Parigi, dan mendapat telepon dari masyarakat bahwa ada penemuan kepala di atas jembatan tanpa badan. Ia lalu menuju Polsek setempat dan mencari kebenaran informasi tersebut. Setelah itu ia diperintahkan oleh Kepala Satuan Brimob (Kasat Brimob) untuk mendalami informasi, dan Andre yang ditunjuk menjadi Komandan Regu (Danru) menuju perbukitan yang dimaksud.

 “Kalau tembakan ke arah saya itu empat kali. Pas tembakan empat itu saya terpelanting dari atas motor,” terangnya kepada IDN Times, saat diwawancarai Jumat (22/11) lalu.

Andre sempat melawan tembakan kelompok Santoso. Bahkan dia sempat dilempar granat, namun untungnya tidak meledak. Sehingga bisa menyelamatkan anggota yang diboncengya saat itu, Bripda Baso.

Di mana saat kejadian, Bripda Baso terbaring di tengah jalan karena peluru sudah bersarang lebih dulu di pantat dan pundaknya. Keduanya terluka oleh tembakan saat menyingkirkan kayu yang melintang di jalan perbukitan sempit itu.

“Anggota saya saat itu terbaring di tengah jalan. Saya menyelamatkan anggota saya, kenalah kaki saya. Ndak tahu yang masuk itu (Peluru) berapa. Waktu itu saya dengar empat tembakan. Kayaknya ada tembakan dua senjata kayaknya. Dung dung, deng deng,” katanya menceritakan.

Andre tidak tahu berapa banyak peluru menyasar tubuhnya. Karena sejak peluru pertama masuk, dia sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Saat itu Andre memang masuk menjadi satuan Intelmob sehingga tidak melengkapi dirinya dengan rompi anti peluru. Andre hanya berpenampilan preman dan untungnya masih mengantongi senjata model SIG 5,56.

1. Sudah mendapat kabar bahwa ia sudah diincar oleh kelompok Santoso

Aipda Andrew, Korban Penembakan Kelompok Santoso Masih TraumaIDN Times/ Ayu Afria

Tiga hari sebelum penembakan, Andre sudah rapat dengan Densus 88 dan Kasat Brimob, bahwa ia serta rekan-rekannya jadi incaran penyerangan amaliyah. Setelah sebelumnya sekitar tiga orang dari kelompok tersebut tertangkap oleh tim Andre.

“Saya katakanya bahwa mau ada penyerangan amaliyah kami yang yang berpakaian preman. Karena saya dapat info memang mereka gerah dengan tindakannya kami selama ini di lapangan,” ujarnya.

2. Penggalan kepala tersebut milik Anang seorang pendulang emas yang dicurigai dekat dengan aparat

Aipda Andrew, Korban Penembakan Kelompok Santoso Masih TraumaPexels.com/pixabay

Di daerah perbukitan yang susah sinyal tersebut, Andre dan timnya memastikan penggalan kepala itu diketahui bernama Anang, seorang masyarakat biasa. Anang merupakan target kelompok Santoso karena dicurigai membantu aparat sejak lama. Saat Anang bekerja mendulang emas tersebutlah, datang kelompok Santoso yang langsung memotong kepalanya. Kemudian kepala Anang ditaruh di jembatan.

3. Dalam keadaan terluka parah, ia dan rekannya butuh waktu sembilan jam menuruni bukit hingga menuju rumah sakit

Aipda Andrew, Korban Penembakan Kelompok Santoso Masih Traumanostalgiamed.com

Setelah mengalami luka tembak, darah di kaki kananny terus mengalir deras. Pun tidak ada pertolongan kala itu. Luka tembak tersebut hanya diperban menggunakan kain saja. Pendarahannya tidak bisa dihentikan. Karena kakinya sudah hancur, dan sudah tidak bisa digerakkan lagi. Butuh sembilan jam perjalanan untuk menuruni perbukitan tersebut hingga sampai ke rumah sakit.

“Lima hari di ICU (Intensive Care Unit) tapi kondisi saya tidak makan tidak minum. Hancur bibir saya. Rumah sakit nyerah, angkat tangan. Jadi saya mau dibawa ke Jakarta. Cuma saya tahu kondisi saya. Lima hari itu saya nggak tidur. Sakit saja yang saya rasa. Saya nggak mau. Saya pikir saya mau meninggal. Jadi daripada nyusahin, saya minta dirujuk ke Bali,” terangnya.

4. Masih ada peluru di dada kirinya. Ia sudah delapan kali menjalani operasi

Aipda Andrew, Korban Penembakan Kelompok Santoso Masih TraumaFoto hanya ilustrasi. (IDN Times/Isidorus Rio)

Andre lantas menunjukkan luka bekas operasi di dada kirinya. Karena di dadanya masih bersarang satu peluru, yang letaknya lumayan dalam. Ia sempat akan dioperasi oleh dokter Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar, namun belum berani karena posisi peluru tersebut lumayan dalam. Apalagi saat itu ia sudah menjalani delapan kali operasi. Tangan kirinya juga sudah cacat. Tidak bisa digerakkan lagi meskipun sudah dilakukan syaraf transfer.

“Sudah delapan kali operasi. Tiga bulan terbaring di Sanglah dan empat bulan berobat jalan ke Jakarta. Artinya capeklah. Saya putuskan nanti aja, dok. Tujuh bulan lagi,” ucapnya.

Setelah kejadian itu, selama satu bulan Andre susah tidur, hingga harus menjalani perawatan fisioterapi dan konsultasi kejiwaan. Paru-parunya kerap terasa sesak.

5. Cerita Andre ketika dilempar granat empat kali tapi tidak meledak

Aipda Andrew, Korban Penembakan Kelompok Santoso Masih TraumaFoto hanya ilustrasi. (Dok.IDN Times/Istimewa)

Ia pernah dilempar granat satu kali saat berusaha menyelamatkan anggotanya. Beruntung granatnya tidak meledak. Sehingga Andre bisa menarik rekannya tersebut dari tengah jalan.

“Waktu tim nyisir naik itu, ada ditemukan tiga granat. Belum meledak. Kayaknya sudah diaktifkan. Cuma dari mereka namanya yang disebut bom lontong ya kan itu mungkin sudah lama mereka bawa. Mungkin kena air sudah nggak aktif lagi ya,” jelasnya.

6. Tak dapat bantuan dari pemerintah. Kaki palsu yang ia pakai merupakan hasil iuran pimpinan dan rekannya

Aipda Andrew, Korban Penembakan Kelompok Santoso Masih TraumaIDN Times/Ayu Afria

Meski menjadi korban penembakan saat bertugas untuk Negara hingga kakinya diamputasi, Andre sama sekali belum merasakan bantuan pemerintah. Bahkan untuk sekadar kaki palsu yang sekarang dikenakannya, pun dibeli dari iuran sukarela rekan-rekannya. Kaki palsu yang tidak nyaman itu justru membuat luka bekas amputasi berdarah lagi.

“Kaki palsu ini saya belum dapat dari Negara. Iya, hanya bantuan aja. Maksudnya sukarela dari teman-teman. Dari pimpinan juga, dari beberapa orang untuk beli. Nah, kalau dari Negara sama sekali belum,” katanya.

7. Andre kini mMasih menumpang tinggal di rumah saudaranya. Mengajukan ASABRI ditolak terus

Aipda Andrew, Korban Penembakan Kelompok Santoso Masih Traumashutterstock.com/alice-photo

Malu kepada masyarakat. Itulah yang ada di benak Andre saat ini. Karena kondisinya yang sudah cacat, dan menjadi tulang punggung keluarga, memaksanya harus tetap bekerja. Ia menahan rasa sakit bekas luka amputasi demi menghidupi istri, dan tiga orang anaknya.

Anak-anaknya menangis melihat kondisi Andre. Bahkan menanyakan ke mana kaki kanannya. Namun olehnya dijawab singkat karena tugas. Menjadi aparat polisi adalah cita-citanya sejak kecil. Ketiga anaknya rupanya juga bercita-cita ingin menjadi polisi seperti Andre.

“Masih numpang saya sama adik. Belum punya rumah sendiri. Pun sampai hari ini ASABRI (Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) pun saya juga belum dapat. Padahal sudah mengajukan empat kali. Sampai saat ini belum ada turun juga. Sementara kejadian sudah hampir satu tahun ini,” ungkap Andre.

Sementara pembiayaan berobat ke rumah sakit dibiayai oleh Dokkes Sulawesi Tengah. Hanya saja kebetulan karena anggarannya habis, sehingga mengajukan ke Pusdokkes. Diakuinya saat itu, biaya yang dibutuhkan mencapai Rp400 juta lebih. Kemudian untuk pembiayaan berobat, Andre sudah tidak memiliki uang lagi sehingga mengajukan ke LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi Korban).

“Saya coba ngajuin. Jujur saja saya masalah obat per minggu habis Rp400 ribu lebih. Belum lagi yang lain-lain. Sampai sekarang makanya saya ngajuin ke LPSK. LPSK yang bantuin saya,” ujarnya.

Pihaknya berharap agar institusi memperhatikan dan memberikan bantuan. Karena ternyata banyak juga korban terorisme yang rupanya hanya dikesampingkan saja. Sementara mereka menjadi korban saat menjalankan tugas Negara.

8. Kasus penyerangan amaliyah jaringan Santoso ini akan disidangkan 26 November mendatang di Jakarta

Aipda Andrew, Korban Penembakan Kelompok Santoso Masih TraumaIDN Times/Rudal Afgani

Anggota kelompok Santoso yang tertangkap baru akan disidangkan di Jakarta pada 26 November mendatang. Andre memastikan bakal menghadiri sidang untuk memberi keterangan sebagai saksi, sekaligus korban.

“Rencananya kami ini nanti sidang tanggal 26. Terkait penyerangan itu. Kan dari sembilan orang mereka itu sempat dikejar oleh tim Tinombala. Dan meninggal empat, satu ditangkap itu. Sekarang ada di Jakarta yang bersangkutan,” jelasnya.

9. Andre masih trauma sampai sekarang. Ada orang yang buka pintu dan mau masuk saja ia kaget

Aipda Andrew, Korban Penembakan Kelompok Santoso Masih TraumaIDN Times/ Ayu Afria

Sementara itu rekan kerja Andre yang berprofesi sebagai dokter gigi, Kadek Dewi Mariyani, mengungkapkan Andre adalah seorang pekerja keras. Meskipun tidak memiliki keahlian khusus, namun tetap berupaya menyelesaikan tugasnya.

“Ndak ada kendala. Baru dua bulanan di sini. Kayaknya sih trauma. Ada orang buka pintu mau masuk ke sini kaget. Itulah yang saya lihat,” kata Dewi.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya