Masyarakat Bali begitu lekat dengan seni budaya. Seni karawitan pun tidak terpisahkan dengan konsep spiritual. Seni karawitan tertulis dalam dua lontar kuno Bali yakni Prakempa dan Aji Ghurnita. Dua lontar tersebut terkait dengan gamelan Bali dan saling berhubungan satu sama lainnya.
Komposer dan Etnomusikolog lulusan University of British Columbia, Kanada, Wayan Sudirana, mengungkapkan seni karawitan di Bali dalam konteks kosmologi tidak dapat dipisahkan dengan konsep berpikir secara spiritual. Bunyi dan tabuh-tabuhan pada dasarnya diperoleh lewat napas.
Dalam Lontar Prakempa dan Aji Ghurnita diulas asal mula bunyi berdasarkan aspek ruang kosmos (Pengider bhuana) beserta hasil penempatan dan turunan nada-nada pada penjuru mata angin. Terdapat pula korelasi dengan aksara (huruf tradisional), urip (angka), Dewa (penguasa karakter bunyi), warna, dan senjata gaib yang menjadi simbol sebelum pelafalan bunyinya.
Hal-hal tersebut kemudian menjadi sebuah kontruksi sistematika pengaturan bunyi yang bermuara pada estetika (witning sarire lango). Selanjutnya akan tercipta gubahan-gubahan terstruktur untuk menghasilkan sebuah pola lagu atau gending.