Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Alasan Penulis Dilarang Baper, Bikin Cuan Makin Seret!

ilustrasi menulis (unsplash.com/Vlad Deep)

Menjadi penulis itu bukan hanya soal menuangkan ide dan kreativitas pada untaian kata-kata. Sampai menjadi sebuah artikel yang indah dan memukau untuk para pembaca. Tapi juga menyangkut soal mental.

Kalau seorang penulis itu baperan, siap-siap saja aliran cuannya makin seret. Mau tahu alasannya? Simak penjelasan lengkapnya di bawah ini.

1. Naskah ditolak itu bukan akhir segalanya

ilustrasi memulai untuk menulis (unsplash.com/Peter Olexa)

Rasa-rasanya, setiap penulis pernah merasakan yang namanya penolakan sebagai dinamika dalam perjalanan merintis kariernya. Juga sebagai proses yang mesti dilalui untuk menuju pada kedewasaan.

Jadi, ketika naskah ditolak, itu bukan berarti bahwa segalanya telah berakhir. Tapi sebaliknya, itu adalah refleksi agar kita senantiasa belajar. Karena bagaimanapun, karya yang ciamik tidak lahir dengan hanya membalikkan telapak tangan.

2. Editor tidak sejahat itu

ilustrasi menulis (unsplash.com/Infralist.com)

lya tahu, kita pasti mencak-mencak ketika karya yang sudah dikirim tidak kunjung dilirik oleh editor. Rasanya ingin membombardir editor dengan sejuta pertanyaan yang telah disimpan sejak pekan kemarin.

Tapi, editor sebenarnya tidak sejahat yang disangka kok. Kalau karya kita memenuhi standar, punya pembawaan yang unik nan menarik, percayalah kalau hati mereka bakal Iuluh dengan sendirinya. Tinggal kita yang tidak boleh gampang menyerah.

3. Perfeksionisme dapat menjadi penghalang

ilustrasi mengetik tulisan (pexels.com/Zakhar Vozhdaienko)

Tidak ada salahnya kalau kita mencintai karya tulis yang susah payah diracik. Itu malah bagus, karena kita pandai menghargai diri sendiri. Juga menyadari kalau menulis itu bukan pekerjaan yang mudah. Butuh kerja keras dan dedikasi yang nyata. Tapi, kalau kita terlalu cinta, sampai menuntut diri untuk menghasilkan karya yang harapannya dicap "sempurna", maka ada satu masalah yang menghantui di sana. Naskah kita terancam tidak kelar-kelar.

Jadi, tidak usah terlalu bawa perasaan ya. Biarkan semua mengalir tanpa hambatan. Perbaiki dengan pelan-pelan.

4. Baper itu menghambat cuan masuk ke kantong

ilustrasi menulis (unsplash.com/engin akyurt)

Kalau sudah baper, selanjutnya adalah galau, merana, terus apa? Malas menulis dong. Kalau situasinya demikian, maka niscaya tidak ada lagi karya kita yang terbit esok hari. Karena hari ini kita mengangkat bendera pertanda menyerah dari baris pertempuran.

Kalau hal itu terjadi, maka aliran cuan juga bakal ikut mandek. Tidak ada artikel yang tayang, maka cuan hanya berupa angan-angan. Jikalau tidak segera berbenah, maka kita makin ketinggalan Solusinya apa? Sederhana saja. Stop baperan.

5. Menjaga personal branding

ilustrasi menulis (pexels.com/Ron Lach)

Penulis itu mestilah pencitraan. Apalagi di dunia digital yang serba luas ini. Kalau kita sering curhat tentang penolakan terhadap karya-karya kita, maka waspadalah. Itu dapat menjadi bumerang di kemudian hari. Pembaca bisa tidak nyaman sama tingkah laku kita. Atau yang lebih parahnya lagi adalah editor yang mengganggap kita penuh drama, bukannya malah penuh usaha.

Kesimpulannya, jangan terlalu baperan ya. Jalan jadi penulis itu memang dihiasi dengan rintangan dan hambatan. Tapi kita jangan menyerah. Sebaliknya, mari tampil jorjoran, biar cuan mengekor dengan nominal yang menggemparkan.

Semangat menulis!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us