5 Pelajaran Tentang Cinta dalam Novel Sayap-Sayap Patah

Dalam dunia yang fana ini, semua orang pasti pernah merasakan cinta. Hal itu yang dapat
menggerakkan jiwa setiap orang dan membuatnya tidak takut menghadapi penderitaan. Cinta juga tak terbatas pada seseorang, rasa itu dimiliki manusia pada alam, flora dan fauna, suatu peristiwa, atau Tuhan Yang Maha Esa.
Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia, karena cinta membangkitkan semangat yang hukum-hukum kemanusiaan dan gejala alami pun tak bisa mengubah perjalanannya.
Kutipan di atas mungkin sudah tak asing bagi penggemar sastra yang membaca buku karya Kahlil Gibran. Penyair masyhur asal Lebanon itu banyak mengangkat persoalan cinta, perempuan, polemik sosial, dan penderitaan hidup dalam buku-bukunya. Berikut beberapa pelajaran yang dapat kita petik dari novelnya yang terkenal, Sayap-Sayap Patah:
1. Cinta menjadi daya kehidupan
Hidupku dalam keadaan koma, kosong seperti hidup Adam di Surga, ketika aku melihat Selma berdiri di hadapanku seperti berkas cahaya. Perempuan itu adalah Hawa hatiku yang memenuhinya dengan rahasia dan keajaiban dan membuatku paham akan makna hidup.
Manusia terlempar ke dunia ini tanpa tahu apa-apa, banyak dari mereka sengsara karena tidak ada tujuan hidup. Namun d ti engah kesengsaraan, cinta adalah sesuatu yang dapat memberi arti dan makna dalam kehidupan seorang manusia. Maka bersyukurlah seseorang yang dapat merasakan nikmatnya mencinta.
Banyak orang mengatakan “Hidup yang penting punya uang dan kebutuhan mencukupi, gak perlu cinta cintaan.” Ya, pastinya itu hal yang benar. Tapi semua itu masih “koma”. Ketika seseorang menemukan dan merasakan cinta, barulah ketemu “titik” atau kepuasan batin dan kebahagiaan.
Sesungguhnya hidup Adam di surga itu sudah sangat enak, apa saja ada, semua mencukupi, tapi mengapa ia merasa begitu kosong? Makanya Adam meminta seorang Hawa kepada Tuhan, yang kehadirannya memberikan daya hidup. Hidup yang tidak sekadar menjalani rutinitas yang hampa. Hidup yang bukan “koma”, tapi “titik”.