Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Cara 'Reset' Narasi Negatif di Kepala, Bye Overthinking!

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Kita semua pernah ada di momen ketika kepala terasa penuh oleh suara-suara yang gak berhenti. Bukan suara orang lain, tapi suara diri sendiri yang terlalu kritis, terlalu takut, terlalu overthinking. Kadang kita gak sadar, narasi negatif itu muncul pelan-pelan: “Aku gak cukup bagus,” “Pasti gagal lagi,” atau “Apa gunanya coba?”

Lama-lama, itu bukan cuma pikiran sementara, tapi jadi identitas yang kita peluk diam-diam. Padahal, kita layak punya hidup yang lebih ringan, dan semuanya bisa dimulai dari cara kita bicara ke diri sendiri.

Reset narasi negatif bukan berarti pura-pura happy atau menolak kenyataan. Ini soal rekalibrasi—mengatur ulang cara pikir, seperti nge-refresh laptop yang udah mulai lemot. Kabar baiknya, kamu gak perlu jadi orang baru atau ikut retret ke gunung buat mulai. Cukup lima langkah kecil ini, konsisten, dan kamu bakal ngerasain sendiri gimana pikiranmu bisa jadi teman, bukan musuh. Yuk mulai!

1. Ganti 'apa yang salah?' jadi 'apa yang bisa dipelajari?'

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Andrea Piacquadio)

Kebiasaan kita waktu ada masalah adalah langsung mikir, “Salah aku di mana?” atau “Kenapa sih aku begini terus?” Padahal, pendekatan kayak gitu bikin kamu terus menerus merasa kurang dan gagal. Coba ubah pertanyaannya. Alih-alih fokus sama kesalahan, tanya ke diri sendiri, “Apa yang bisa aku pelajari dari ini?” atau “Next time, aku bisa ngapain biar lebih baik?”

Perubahan pertanyaan ini sederhana tapi berdampak besar. Kamu jadi lebih berani ambil risiko karena tahu kegagalan bukan akhir, tapi proses. Otak kamu pun pelan-pelan berhenti mengasosiasikan kesalahan dengan harga diri. Ini cara ampuh buat mulai membangun mindset bertumbuh—yang gak judgmental, tapi suportif dan realistis.

2. Jangan percaya sama semua pikiranmu

Ilustrasi seorang wanita memegang kacamata (Pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Fakta penting: gak semua yang kamu pikiran itu fakta. Banyak pikiran muncul karena kecemasan, trauma masa lalu, atau sekadar kebiasaan mikir negatif. Tapi sering kali, kita nerima semua pikiran itu mentah-mentah, kayak semuanya valid dan benar. Padahal, banyak dari mereka cuma noise.

Mulai sekarang, kasih jarak antara kamu dan pikiranmu. Lihat pikiran sebagai 'tamu' yang datang dan pergi, bukan sebagai 'bos' yang mutlak. Kamu bisa tanya balik: “Apakah ini benar?” “Ada bukti nyatanya gak?” atau “Kalau ini temen aku yang ngalamin, aku bakal ngomong apa ke dia?” Dengan begitu, kamu mulai jadi editor yang kritis terhadap isi kepala sendiri—bukan sekadar konsumen pasif.

3. Tuliskan, jangan simpan di kepala

Ilustrasi seorang wanita menulis (Pexels.com/Mikhail Nilov)

Pikiran negatif makin kuat kalau cuma muter-muter di kepala. Mereka berkembang biak di ruang gelap. Tapi begitu dituliskan, mereka mulai kehilangan kuasa. Menulis itu kayak membongkar isi lemari—kelihatan mana yang masih layak disimpan dan mana yang harus dibuang.

Ambil waktu beberapa menit tiap hari buat journaling. Gak harus puitis atau estetik—cukup jujur. Kamu bisa tulis kekhawatiranmu, marahmu, bahkan hal-hal kecil yang kamu syukuri hari itu. Menulis bikin kamu bisa lihat pola, menemukan makna, dan menciptakan ruang jeda antara kamu dan overthinking.

4. Batasi asupan dari dunia luar

Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/Andrea Piacquadio)

Tanpa sadar, apa yang kamu lihat dan konsumsi tiap hari membentuk narasi di kepala. Scroll media sosial berjam-jam, nonton konten toxic, atau terlalu banyak bandingin hidupmu sama orang lain, bisa bikin kamu merasa selalu kurang. Bukan karena hidupmu jelek, tapi karena kamu ngasih ruang buat standar yang bukan milikmu.

Mulai kurasi isi duniamu. Follow akun yang bikin kamu berkembang, bukan insecure. Konsumsi konten yang kasih insight, bukan cuma hiburan kosong. Sesekali, detox digital juga gak salah. Ingat, kamu punya kendali penuh atas pintu masuk ke pikiranmu. Gunakan itu dengan sadar.

5. Bangun dialog internal yang lebih ramah

Ilustrasi seorang wanita bercermin (Pexels.com/Miriam Alonso)

Cara kamu bicara ke diri sendiri punya pengaruh besar ke kualitas hidup. Kalau setiap hari kamu dengar suara internal yang nyalahin, ngegas, atau merendahkan, wajar aja kalau kamu capek. Sekarang bayangin kalau isi kepala kamu kayak sahabat yang sabar, jujur, tapi tetap mendukung—lebih enak, kan?

Mulai latih self-talk yang sehat. Saat kamu gagal, ucapkan kalimat seperti, “It’s okay, namanya juga belajar,” atau “Besok bisa coba lagi, pelan-pelan aja.” Awalnya mungkin terasa fake, tapi lama-lama otakmu akan terbiasa. Dan percayalah, cara kamu bicara ke diri sendiri itu cermin dari seberapa kamu menghargai dirimu.

Kita gak bisa sepenuhnya menghindari narasi negatif, tapi kita bisa belajar mengelolanya. Pikiran buruk bukan musuh, tapi sinyal. Saat kamu mulai berani ‘reset’ isi kepala, kamu bukan cuma berhenti overthinking, tapi juga membuka jalan ke versi dirimu yang lebih utuh, lebih tenang, dan lebih siap menghadapi hidup. Ingat, kamu layak punya ruang aman, bahkan di dalam dirimu sendiri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us