Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi proses belajar mengajar (pexels.com/Tima Miroshnichenko)
ilustrasi proses belajar mengajar (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Di era informasi yang serba cepat ini, perbedaan pendapat sering kali berujung pada perdebatan sengit di media sosial, bahkan di dunia nyata. Pertanyaannya, kenapa kita sering kali kesulitan berargumen dengan kepala dingin dan cenderung mudah terprovokasi emosi?

Pendidikan selama ini cenderung fokus pada hafalan dan teori, bukan pada melatih berpikir kritis dan berempati. Padahal, untuk menciptakan masyarakat yang bisa berdiskusi secara sehat, kita butuh generasi yang mampu menyusun argumen cerdas, bukan sekadar meluapkan emosi.

Berikut adalah 5 metode belajar yang bisa mengubah cara siswa berpikir dan berargumen, jauh dari kata ''mudah terprovokasi.''

1. Socratic seminar: balik peran guru-murid

ilustrasi mengajukan pendapat (unsplash.com/Elissa Garcia)

Sebagai pendidik, guru perlu berani bereksperimen dengan berbagai metode mengajar untuk menemukan cara paling efektif dalam proses belajar. Salah satunya, dengan membalik peran. Bukan lagi guru yang selalu memberi jawaban, melainkan mengajukan pertanyaan yang memancing diskusi terbuka.

Pertanyaan sederhana seperti, “Mengapa menurutmu begitu?” atau “Apa alasan di balik pendapatmu?” bisa jadi pemicu. Dari sini, murid belajar berpikir lebih dalam, mendengar pandangan teman, dan merangkai argumen. Perlahan mereka mengerti, bahwa perbedaan pendapat bukan ancaman, melainkan kesempatan untuk saling memahami.

2. Role-playing dan simulasi konflik: belajar empati lewat peran

ilustrasi berdialog (pexels.com/Kampus Production)

Coba bayangkan, murid diberi peran dalam sebuah skenario konflik. Entah itu perdebatan kebijakan atau negosiasi damai. Mereka harus ''memerankan'' tokoh dengan pandangan yang berbeda, misalnya jadi pejabat, aktivis, atau warga biasa, lalu membela posisi tersebut, meski bukan pandangan pribadinya.

Simulasi ini melatih empati dan membuka mata mereka bahwa sebuah isu selalu memiliki banyak sisi. Alih-alih langsung terpancing emosi, murid belajar memahami mengapa orang lain bisa berpikir dengan cara yang berbeda.

3. Project-based learning: cari solusi, bukan sekadar teori

ilustrasi proses belajar (unsplash.com/Ed Us)

Daripada sekadar menghafal teori, murid bisa diajak menghadapi persoalan nyata di sekitar mereka. Misalnya, membuat kampanye anti-hoaks di kelas atau menyusun strategi agar kantin bebas penggunaan styrofoam.

Dalam prosesnya, mereka belajar melakukan riset, bekerja sama dengan teman, dan menyampaikan hasilnya di depan banyak orang. Dari sini, murid terbiasa berpikir runtut dan terlatih untuk fokus pada solusi. Bukan sibuk menyalahkan pihak lain, tapi mencari jalan keluar yang bisa dijalankan bersama.

4. Debat terstruktur: berargumen dengan aturan yang jelas

ilustrasi berdiskusi (pexels.com/Max Fischer)

Debat tak selalu harus adu mulut. Dengan aturan jelas dan waktu terbatas, murid dilatih berargumen berdasarkan data dan logika, bukan emosi.

Ketika tahu harus menyiapkan bukti dan argumen yang kuat, mereka jadi terbiasa menahan diri. Debat pun berubah dari "siapa paling keras" suaranya menjadi "siapa paling logis" argumennya. Guru bisa membagi siswa menjadi tim pro dan kontra untuk sebuah diskusi yang diperdebatkan. Dari sinilah murid terbiasa mengendalikan diri, fokus pada logika, dan berdebat secara sehat tanpa menyerang personal.

5. Studi kasus sejarah: memahami akar permasalahan

ilustrasi diskusi kelompok (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Alih-alih sekadar menghafal tanggal atau tahun terjadinya sebuah peristiwa sejarah, guru bisa mengajak murid menelaah kejadian nyata, seperti Reformasi atau isu sosial yang masih relevan. Dari sini, murid akan menyadari bahwa kenyataan jarang sesederhana yang tertulis di buku. Selalu ada banyak sudut pandang yang perlu dipertimbangkan.

Mereka bisa diajak menelusuri beragam sumber, mulai dari dokumen asli, arsip foto, hingga wawancara dengan saksi yang pernah mengalami peristiwa itu. Proses ini melatih murid untuk lebih hati-hati dalam memahami latar belakang dan dampaknya sebelum mengambil kesimpulan. Dengan begitu, mereka terbiasa berpikir kritis dan melihat sebuah isu dari berbagai sisi, bukan hanya dari satu kacamata.

Pada akhirnya, pendidikan bukan sekadar urusan mencetak anak yang pintar secara akademis. Lebih dari itu, sekolah seharusnya melahirkan generasi yang bisa berpikir kritis, punya empati, dan tahu cara menyampaikan pendapat dengan sehat. Dengan metode belajar yang tepat, murid akan terbiasa menghadapi perbedaan tanpa mudah tersulut, sekaligus terlatih mencari jalan keluar dengan kepala dingin.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team