5 Luka Batin dari Orangtua yang Dianggap Biasa Padahal Bikin Trauma

Setiap keluarga pasti punya masalah yang cuma diketahui anggotanya. Dari luar semuanya tampak baik-baik saja dan terlihat seperti potret keluarga bahagia. Gak ada masalah berarti, yang bikin kamu canggung atau gak nyaman untuk berinteraksi dengan semua anggota keluarga. Hubungan dalam keluarga bisa jauh lebih kompleks dari apa yang terlihat di permukaan.
Menjadi dewasa mengajarkan kamu cara untuk mengerti orangtua lebih baik dari sebelumnya. Waktu kebersamaan dengan mereka rasanya lebih penting daripada permasalahan yang sudah lama berlalu. Meskipun begitu, memaafkan tetap gak sama dengan melupakan. Ada beberapa luka yang mungkin kamu pendam tanpa pernah terselesaikan. Terlalu lama menormalisasi luka sampai lupa kalau kamu belum benar-benar sembuh sepenuhnya. Berikut lima bentuk luka batin yang sering dianggap biasa saja padahal diam-diam menyisakan trauma.
1. Dikendalikan oleh kalimat pasrah
Ada saat-saat di mana kamu diberi kebebasan, tapi akhirnya terasa seperti masuk dalam jebakan. Dibiarkan menentukan pilihan tapi harus di bawah arahan dan pengawasan. Kalimat yang sering diucapkan adalah “Terserah kamu, orangtua cuma ingin yang terbaik”. Seolah keinginanmu akan didengar dan dipertimbangkan, padahal kenyataannya gak begitu. Seringnya kamu tahu arah mana yang mereka harapkan. Kalau memilih sesuatu yang berbeda, kamu jadi merasa takut atau bersalah.
Tanpa sadar, kamu jadi sering ragu sama keputusanmu sendiri. Setiap pilihan yang kamu buat adalah hasil preferensi orangtua, bukan milikmu sendiri. Ada tekanan tak kasat mata untuk gak mengecewakan mereka. Kamu tumbuh dalam dilema yang gak pernah selesai, yakni ingin bebas tapi takut dianggap durhaka. Ingin owning your life, tapi terbayang-bayang rasa utang untuk memenuhi harapan orangtua. Kalimat-kalimat manis yang kamu dengar dari mereka t itu nyatanya bisa bersifat mengendalikan, bukan menguatkan.
2. Cerita dan rahasiamu dijadiin bahan obrolan bersama orang lain
Menyimpan buku harian harus di tempat yang super aman biar gak ketahuan orang tua. Punya second account di media sosial untuk membagikan kegiatan yang ingin kamu sembunyikan dari mereka. Kamu terbiasa menjalani hidup dalam dua versi: satu yang kamu tunjukkan ke orangtua, dan satu lagi yang kamu jalani secara diam-diam tanpa sepengetahuan mereka. Bukan karena kamu ingin berbohong atau menutupi hal buruk. Hanya saja, ada pengalaman kurang menyenangkan saat kamu mencoba terbuka dengan orang tua. Ketika kamu mencari rasa aman, yang kamu terima justru penghakiman atau ceritamu yang menyebar ke mana-mana.
Setiap rahasia kecil yang terbongkar tanpa izin meninggalkan rasa gak nyaman yang sulit dijelaskan. Kamu jadi terbiasa menyaring cerita, menghapus jejak, dan menjaga jarak secara emosional. Sebenarnya wajar untuk menginginkan privasi dari orangtua. Tapi kadang itu terlalu diwajarkan sampai kamu gak sadar kalau yang kamu butuhkan bukan sekedar privasi. Ada ketakutan yang terbiasa kamu sembunyikan. Ada luka yang bikin kamu trauma dan merasa gak aman untuk jadi dirimu sendiri di depan mereka.
3. Jadi “penengah” dalam konflik orangtua
Ayah curhat padamu tentang ibu, dan ibu curhat padamu tentang ayah. Seperti terjebak dalam pertemanan tiga orang, di mana dua orang temanmu lagi punya konflik dengan satu sama lain dan kamu jadi penengahnya. Kamu harus memahami sudut pandang masing-masing dari mereka tanpa bisa memihak salah satunya. Karena keduanya ingin kamu berpihak pada mereka. Tanpa ingat kalau kamu juga punya judgement-mu sendiri. Pokoknya ribet, deh. Kalau hanya teman, kamu masih bisa tegas untuk menolak terlibat dalam drama mereka dengan orang lain. Beda halnya kalau melibatkan orangtua. Gak segampang itu untuk kabur dari permasalahan yang mereka punya karena, gimana pun, kamu adalah anaknya. Orang yang mungkin paling tepat untuk memberikan pendapat.
Terlalu sering berada di posisi ini bikin kamu belajar menahan perasaanmu sendiri demi menyenangkan orang lain. Jadi pribadi yang terlalu cepat membaca situasi, terlalu peka terhadap suasana, dan mengabaikan kepentinganmu sendiri. Dalam menjalin hubungan, kamu lebih suka menghindari konflik, gak enak menolak, dan gampang mengalah meskipun dirugikan. Sulit untukmu meminta tolong tanpa merasa bersalah. Membingungkan bagimu untuk mengekspresikan kemarahan tanpa takut terlihat berlebihan.
4. Disepelekan karena dianggap lebih gak tahu
Setiap kali kamu butuh penjelasan, responnya cuma menunjukkan kalau kamu belum pantas tahu. Saat kamu yang mencoba menjelaskan suatu informasi, penjelasanmu disepelekan karena pengetahuanmu dianggap masih terbatas. Penolakan-penolakan kecil yang bikin kamu akhirnya memilih diam. Selalu ada keraguan saat kamu ingin menyampaikan sesuatu. Kamu takut dikira salah, dianggap bodoh, atau dikritik berlebihan.
Lebih mudah untuk mengikuti orang lain daripada menyuarakan keinginanmu sendiri. Tanpa sadar, luka ini perlahan menjelma jadi rasa takut berbicara di depan umum, grogi ketika harus mengemukakan pendapat, serta kecemasan berlebih saat diberi tanggung jawab. Rasa kurang percaya diri yang kamu miliki saat ini bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Insecurities itu dibentuk dari pengalaman-pengalaman yang disepelekan dalam waktu lama.
5. Dibanding-bandingkan secara gak langsung
Gak semua perbandingan diucapkan secara terang-terangan. Kadang, kamu merasakannya dari gestur tubuh, cara pandang, atau nada suara yang berbeda saat orangtua sedang membahas orang lain. Mereka gak pernah bilang kamu harus seperti si A, tapi kamu tau siapa yang dibanggakan dari ekspresi mereka. Kamu memang gak diminta bersaing secara langsung, tapi rasanya seolah kamu harus jadi lebih baik dari versimu yang sekarang. Kondisi kayak gini bisa terasa membingungkan karena kamu gak tau apa yang harus diubah atau ditingkatkan.
Sulit memenuhi harapan yang gak pernah diucapkan, mengejar standar yang gak jelas tolak ukurnya. Semisal diminta jadi lebih pintar dari si A, kamu jadi tau apa yang harus dikejar. Dibandingkan secara tersirat bikin kamu selalu ‘gak cukup’ meskipun udah berhasil menang, cumlaude, atau mendapat pencapaian lainnya. Luka ini gak datang dari satu kalimat yang menyakitkan, melainkan dari banyak momen kecil yang membuatmu merasa kalah dalam semua hal.
Trauma yang kamu dapatkan dari orangtua gak selalu muncul karena major event. Hal-hal yang terkesan biasa aja justru sering jadi sumber luka yang jarang divalidasi. Sekecil apa pun, trauma tetap lah trauma. Mengetahuinya bukan karena ini menyalahkan siapa-siapa. Justru biar tau dari mana rasa sakitnya berasal biar kamu bisa move on ke cara mengatasinya.