Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

6 Kesalahan Pola Asuh yang Diam-Diam Membuat Anak Jadi Bossy

ilustrasi ibu mengobrol dengan anak (pexels.com/Ketut Subiyanto)
ilustrasi ibu mengobrol dengan anak (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Anak memiliki sifat bossy bukan berarti dia jahat. Sifat bossy sering muncul saat anak ingin merasa punya kontrol atas situasi, tapi belum tahu cara yang tepat untuk menyalurkan keinginan tersebut. Mereka cenderung memberi perintah, ingin menang sendiri, atau tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Kalau dibiarkan, sikap ini bisa mengganggu hubungan sosial mereka di masa depan.

Biasanya yang sering luput disadari, perilaku bossy ini bisa tumbuh karena pola asuh yang kurang tepat. Misalnya, terlalu sering menuruti kemauan anak, tidak membiasakan diskusi, atau malah tanpa sadar mencontohkan perilaku yang dominan di rumah. Nah, sebelum kebiasaan ini terbentuk terlalu kuat, yuk kenali beberapa kesalahan pola asuh yang diterapkan oleh orangtua yang diam-diam bikin anak jadi bossy!

1. Terlalu sering menuruti semua keinginan anak

ilustrasi ayah mengobrol dengan anak (pexels.com/Julia M Cameron)
ilustrasi ayah mengobrol dengan anak (pexels.com/Julia M Cameron)

Anak yang selalu dituruti bisa tumbuh dengan mindset bahwa semua hal harus berjalan sesuai kehendaknya. Ketika orangtua langsung mengiyakan semua permintaan, anak jadi tidak belajar konsep menunggu, berbagi, atau bahkan menerima penolakan. Hal ini membuat anak merasa punya kuasa atas segalanya dan tanpa sadar mengembangkan perilaku dominan pada orang lain, terutama teman sebayanya.

Lambat laun, anak bisa menjadi pribadi yang kurang peka terhadap batasan orang lain. Ia terbiasa berada di posisi pemegang keputusan, dan saat teman tidak mau mengikuti keinginannya, ia merasa kesal atau tidak dihargai. Anak yang bossy bukan semata-mata 'salah karakter', tapi bisa jadi karena ia tumbuh tanpa pengalaman menghadapi boundary. Jadi, sangat penting bagi orangtua untuk menunjukkan bahwa tidak semua keinginan harus dipenuhi demi membentuk anak yang lebih pengertian dan fleksibel.

2. Tidak memberi kesempatan anak untuk berempati

ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/cottonbro studio)

Pola asuh kedua yang membuat anak jadi bossy adalah tidak memberi kesempatan pada anak untuk berempati. Jika anak jarang diajak berdiskusi tentang perasaan orang lain, mereka cenderung tidak mengembangkan empatinya. Misalnya, saat anak memaksa temannya bermain sesuai kehendaknya dan orangtua membiarkan saja tanpa menjelaskan dampaknya, anak tidak akan sadar kalau sikapnya bisa menyakiti perasaan orang lain. Padahal, empati adalah kunci penting agar anak tidak jadi bossy.

Mengajarkan empati tidak harus dengan ceramah panjang dan lebar. Mengajarkan empati pada anak bisa dengan hal sederhana seperti menonton film dan membahas karakter, atau menanyakan, "Menurut kamu, perasaan temanmu gimana pas kamu ambil mainannya tadi?" Dengan begitu, anak belajar bahwa orang lain juga punya perasaan dan keinginan. Tanpa empati, anak hanya akan fokus pada dirinya sendiri dan cenderung mengatur agar semua sesuai kehendaknya.

3. Mengabaikan sikap dominan sejak dini

ilustrasi ibu menegur anak (pexels.com/RDNE Stock project)
ilustrasi ibu menegur anak (pexels.com/RDNE Stock project)

Kadang kala, saat anak terlihat suka memimpin saat bermain, orangtua menganggapnya sebagai tanda bahwa dia adalah anak pintar atau berani. Padahal, jika tidak diarahkan dengan benar, sikap dominan bisa berubah menjadi bossy. Anak mulai terbiasa mengambil alih permainan, mengatur temannya, dan tak memberi ruang bagi orang lain untuk berpendapat.

Jadi, penting untuk membedakan antara jiwa kepemimpinan yang sehat dan sikap mendominasi yang merugikan orang lain. Jika anak sudah mulai suka memaksa temannya mengikuti perintah, orang tua perlu turun tangan. Hal ini bukan untuk melarang, tapi untuk memberi tahu bahwa jadi pemimpin itu juga harus bisa mendengarkan dan menghargai keputusan bersama.

4. Sering memuji anak secara berlebihan

ilustrasi ayah dan anak perempuan (pexels.com/Pavel Danilyuk)
ilustrasi ayah dan anak perempuan (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Pujian memang penting untuk membangun rasa percaya diri anak. Namun, jika dilakukan secara berlebihan dan tanpa dasar yang tepat, bisa menumbuhkan kepercayaan diri yang salah arah. Anak yang terus-menerus dibilang paling pintar atau selalu benar akan sulit menerima masukan dari orang lain dan cenderung ingin selalu di posisi atas.

Anak jadi merasa bahwa semua orang harus mengikuti caranya karena ia sudah terbiasa dianggap paling unggul. Kalau kebiasaan ini terbawa ke lingkungan sosial, bukan tidak mungkin anak menjadi bossy atau memandang rendah teman-temannya. Orangtua sebaiknya memberikan pujian yang spesifik dan proporsional agar anak tetap rendah hati dan terbuka terhadap pendapat orang lain.

5. Tidak memberikan batasan yang jelas

ilustrasi seorang ibu menegur anak perempuan (pexels.com/Kampus Production)
ilustrasi seorang ibu menegur anak perempuan (pexels.com/Kampus Production)

Anak membutuhkan batasan agar ia tahu mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Saat tidak ada aturan yang konsisten, anak jadi bingung membedakan perilaku yang wajar dengan yang mengganggu orang lain. Dalam situasi ini, anak bisa dengan mudah mengembangkan sikap bossy karena merasa tidak ada yang salah dengan mengatur orang lain.

Misalnya, jika anak memotong pembicaraan orangtua atau menuntut sesuatu secara berlebihan tapi tidak ditegur, ia akan berpikir itu adalah hal yang wajar. Padahal, tanpa batasan yang jelas, anak tidak belajar tentang pentingnya menghargai orang lain. Orangtua perlu menetapkan aturan secara konsisten, bukan untuk mengekang, tapi untuk membantu anak membentuk perilaku yang lebih sehat.

6. Mencontohkan sikap otoriter di rumah

ilustrasi seorang ayah menegur anak (pexels.com/August de Richelieu)
ilustrasi seorang ayah menegur anak (pexels.com/August de Richelieu)

Anak adalah peniru yang baik. Jika orangtua sering bersikap otoriter—misalnya memerintah tanpa memberi kesempatan berdiskusi—anak akan meniru pola yang sama. Ia belajar bahwa yang kuat adalah yang bisa mengatur, dan bahwa perasaan atau pendapat orang lain tidak terlalu penting. Pola ini bisa terbawa saat anak berinteraksi dengan teman sebayanya.

Tanpa disadari, anak mulai memperlakukan temannya seperti anak buah, karena melihat pola yang sama dari orang terdekatnya. Maka, penting bagi orangtua untuk menjadi teladan dalam hal komunikasi yang sehat. Beri ruang untuk berdiskusi, dengarkan pendapat anak, dan ajarkan bahwa kepemimpinan sejati juga melibatkan rasa hormat dan empati.

Itulah 6 kesalahan pola asuh yang diterapkan oleh orangtua pada anak dan bisa berpotensi membuat anak tumbuh menjadi sosok yang bossy. Jadi, bossy itu bukan bawaan lahir. Biasanya sifat itu tumbuh dari kebiasaan kecil yang tanpa sadar dibiarkan oleh orangtua. Yuk, mulai ubah pola asuh dari sekarang!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us