Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Mom Alone

Tidak ada seorang pun ibu yang bercita-cita menjadi ibu tunggal. Namun ketika hidup tidak berjalan sesuai rencana, kenyataan pahit harus diterima dengan lapang dada. Menjadi ibu tunggal bukan hanya soal membesarkan anak sendirian, tetapi juga menyimpan banyak rasa lelah, takut, ruang kosong, dan kesepian yang tidak semua orang tahu.

Di balik senyum yang tampak di depan orang lain, ada luka yang disembunyikan, air mata yang ditahan, dan ketegaran yang dipaksakan. Ibu tunggal tetap berdiri, berjalan, dan menjalani hari demi hari demi anak-anaknya.

Ada lima hal yang kami hadapi yang tidak semua orang tahu. Hal-hal ini tersembunyi dari pandangan mata, tapi nyata kami rasakan. Apa saja itu?

1. Kami terlihat kuat, tapi sebenarnya ingin menangis

Ada hari-hari di mana rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya. Tapi kami tidak bisa. Karena ada buah hati yang melihat. Kami menanamkan pada diri bahwa kami harus kuat, kami sudah ikhlas. Namun kenyataannya, air mata masih sering mengalir tanpa sebab.

Duka karena kehilangan pasangan belum benar-benar hilang. Kami masih belajar beradaptasi dan berdamai dengan kenyataan. Saat melihat barang-barang peninggalan pasangan, seperti pakaian di lemari, foto keluarga di dinding, atau kendaraan yang dulu sering kami kendarai bersama, semuanya menyisakan luka yang belum sembuh. Setiap melewati tempat yang dulu pernah kami datangi bersama, dada terasa sesak. Tapi kami harus tetap hidup, bangkit, dan bertahan demi anak-anak.

Meski begitu, kami tetap manusia. Kadang ada pemicu yang membuat tangis kembali datang. Kami tidak tahu kapan luka ini sembuh sepenuhnya. Tapi kami percaya, akan ada waktunya kami benar-benar berdamai. Dan sampai saat itu datang, biarlah kami berjalan perlahan. Just let it be...

2. Kami memikirkan segalanya sendirian

Saat pasangan masih ada, banyak keputusan penting yang bisa dibicarakan berdua. Tapi sekarang, semua keputusan harus kami ambil sendiri. Soal pendidikan anak, biaya hidup, kesehatan, bahkan hal-hal kecil seperti memilih menu makan malam pun kami pikirkan sendiri. Tidak ada tempat bersandar saat kami bingung. Tidak ada bahu tempat bertanya, "Menurutmu bagaimana?"

Beban pikiran yang besar membuat kami terlihat berbeda. Kadang kami jadi pendiam, cuek, atau bahkan terlihat sangat sibuk dengan dunia sendiri. Padahal itu semua karena kami lelah. Lelah karena harus selalu kuat, lelah karena tidak ada jeda, dan lelah karena selalu khawatir apakah keputusan yang kami ambil sudah benar. Sikap kami kadang disalahartikan. Dibilang tertutup, atau menjauh dari lingkungan. Padahal kami hanya butuh ruang untuk bernapas.

3. Kami sering menyembunyikan tangisan dari anak

Anak-anak adalah satu-satunya alasan kami untuk terus hidup dan kuat. Karena itu, kami berusaha menyembunyikan kesedihan di depan mereka. Kami tahu, anak-anak tidak perlu melihat ibunya menangis setiap malam. Mereka butuh merasa aman. Maka, meski hati hancur, kami tetap tersenyum. Kami mencoba membuat hidup mereka tetap terasa normal. Seperti ketika ayah mereka masih ada. Kami tetap menyiapkan sarapan, mengantar sekolah, menemani belajar, dan menyelipkan cium di kening sebelum tidur.

Namun di balik semua itu, sering kali kami menangis diam-diam. Di kamar mandi, di dapur, atau saat anak sudah tertidur. Kami sering lupa akan kebahagiaan diri sendiri. Karena satu-satunya prioritas adalah memastikan anak-anak tetap bahagia dan tidak merasa kehilangan terlalu dalam.

4. Kami merasa bersalah saat tidak sempurna

Saat nilai anak menurun, kami menyalahkan diri sendiri. Merasa kurang perhatian, kurang waktu, dan kurang sabar. Padahal kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Kami merasa gagal menjadi ibu sekaligus ayah. Gagal memenuhi semua peran dengan sempurna.

Kadang rasa bersalah itu begitu dalam. Sampai muncul pikiran, "Kalau saja ayahnya masih ada, pasti anakku tidak seperti ini." Kami tahu bahwa nilai bukan segalanya. Bahwa setiap anak memiliki jalannya sendiri. Tapi kami tetap merasa sedih, apalagi saat membandingkan anak kami dengan anak lain yang terlihat lebih sukses.

Kami tahu membandingkan itu tidak adil. Tapi sebagai manusia biasa, rasa kecewa, takut, dan sedih itu muncul dengan sendirinya. Kami hanya ingin menjadi ibu yang baik, meski sering merasa belum cukup.

5. Kami kuat, tapi juga ingin dimengerti

Banyak orang bilang kami wanita kuat. Dan kami memang mencoba menjadi itu. Tapi di balik kekuatan kami, ada kerentanan yang tak terlihat. Kami juga ingin dimengerti. Ingin dipeluk dan diyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kami juga ingin bicara tanpa dihakimi. Sayangnya, yang sering terjadi adalah kami yang justru berusaha memahami orang lain.

Kami tersenyum saat hati kami hancur. Kami menjawab "nggak apa-apa kok" meski sebenarnya ingin bicara banyak. Karena kami tahu, tidak semua orang bisa menerima dan memahami duka yang belum selesai.

Tulisan ini bukan untuk minta dikasihani. Tapi semoga orang-orang bisa lebih memahami, bahwa di balik seorang ibu tunggal yang tersenyum tegar, ada banyak luka yang sedang disembuhkan diam-diam.

Untuk para ibu tunggal lainnya: kamu tidak sendiri. Kamu luar biasa. Meski jalan ini tidak mudah, kita akan sampai juga di titik damai, dengan versi sembuh kita masing-masing.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team