5 Dilema Anak saat Pilihan Kariernya Tidak Sesuai Harapan Orangtua

Ketika anak memilih jalur karier yang tidak sejalan dengan harapan orangtua, konflik batin sering kali tak terhindarkan. Di satu sisi, mereka ingin mengejar passion dan hidup sesuai keinginan sendiri. Namun di sisi lain, ada rasa tidak enak hati karena khawatir mengecewakan orangtua yang telah membesarkan dan mendukung selama ini. Situasi ini membuat banyak anak merasa serba salah dan sulit bersikap tegas terhadap pilihan hidupnya sendiri.
Dilema ini juga sering muncul dalam bentuk tekanan yang tak selalu terlihat secara langsung. Meskipun orangtua tidak melarang secara eksplisit, komentar seperti "Yakin bisa hidup dari kerjaan kayak gitu?" atau "Coba pikirin masa depanmu baik-baik," bisa membuat anak merasa bersalah. Nah, berikut lima dilema yang umum dialami anak saat pilihan kariernya tidak sesuai dengan keinginan orangtua.
1. Dilema antara mengejar passion atau menyenangkan orangtua

Satu dilema terbesar adalah memilih antara mengikuti panggilan hati atau mengikuti arahan orangtua. Misalnya, seorang anak yang ingin menjadi seniman harus berhadapan dengan keinginan orangtuanya agar menjadi dokter atau PNS. Anak mungkin merasa hidupnya tidak akan bahagia jika tidak menjalani karier yang benar-benar ia cintai, tapi juga takut dianggap durhaka atau tidak tahu balas budi.
Konflik ini sering kali membuat anak merasa kehilangan arah. Ia terjebak antara rasa bersalah dan keinginan untuk hidup otentik. Bahkan, ada yang akhirnya mengikuti keinginan orangtua dulu, lalu baru beralih ke passion-nya setelah merasa cukup mandiri secara finansial. Proses ini bisa memakan waktu dan energi emosional yang besar.
2. Merasa harus membuktikan diri terus menerus

Saat memilih jalur karier yang tidak didukung orangtua, anak sering merasa harus bekerja dua kali lebih keras untuk membuktikan bahwa pilihannya tidak salah. Tekanan ini datang bukan hanya dari luar, tetapi juga dari dalam diri sendiri. Ada dorongan kuat untuk membungkam keraguan orangtua sekaligus membuktikan nilai dan kapabilitas dirinya. Sayangnya, fokus yang berlebihan pada pembuktian ini bisa menimbulkan stres yang berkepanjangan dan kelelahan emosional.
Alih-alih menikmati proses berkembang dalam karier, anak justru terjebak dalam lingkaran perfeksionisme dan ekspektasi. Ketika pencapaian tak kunjung datang atau tidak sesuai standar yang dibayangkan, perasaan gagal dan tidak cukup baik bisa muncul. Ini dapat memperburuk hubungan dengan orangtua karena anak merasa terus-menerus diawasi, dihakimi, dan tidak mendapat dukungan yang ia butuhkan.
3. Takut hubungan keluarga jadi jauh

Banyak anak yang akhirnya memilih untuk diam dan menuruti keinginan orangtua karena takut dianggap durhaka atau membuat hubungan keluarga menjadi renggang. Apalagi jika orangtua termasuk tipe yang keras kepala, sulit berdiskusi, atau memiliki ekspektasi tinggi terhadap masa depan anak. Dalam situasi seperti ini, anak merasa terjebak. Ia sadar apa yang diinginkan berbeda dari orangtuanya, namun khawatir jika memaksa, konflik panjang tak terhindarkan dan bisa mengganggu keharmonisan keluarga.
Akhirnya, pilihan untuk "mengalah dulu" pun diambil demi menjaga ketenangan rumah. Anak menahan diri dan menekan perasaan demi menciptakan suasana damai di keluarga. Tapi ini bukan solusi jangka panjang. Jika anak terus memendam keinginannya, bukan tidak mungkin rasa kecewa dan frustrasi justru menumpuk seiring waktu. Hubungan keluarga yang tadinya terlihat harmonis bisa retak secara perlahan, bukan karena pertengkaran terbuka, tetapi karena luka batin yang tidak pernah benar-benar disampaikan.
4. Merasa identitas diri tidak diakui

Pilihan karier seseorang sering kali menjadi cerminan dari nilai-nilai, minat, dan jati dirinya. Saat orangtua tidak memberikan dukungan terhadap pilihan tersebut, anak bisa merasa bahwa dirinya tidak diterima secara utuh. Ia mungkin mulai mempertanyakan apakah kasih sayang dan penghargaan dari orangtua hanya berlaku jika ia mengikuti harapan yang telah ditentukan.
Rasa tidak diakui ini secara perlahan namun pasti dapat mengikis kepercayaan diri dan meruntuhkan harga diri anak. Ia jadi merasa harus menyembunyikan siapa dirinya yang sebenarnya agar tetap diterima. Dalam jangka panjang, ini bisa membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang penuh keraguan, kesulitan dalam mengambil keputusan, serta terus-menerus mencari validasi dan pengakuan dari orang lain.
5. Terjebak dalam pilihan karier yang tidak membahagiakan

Tak sedikit anak yang akhirnya memilih mengikuti keinginan orangtua dalam menentukan jalan karier. Bukan karena benar-benar mereka menginginkan karier tersebut, tapi karena ingin menghindari konflik atau mengejar restu keluarga. Di awal mungkin terasa baik-baik saja. Tetapi seiring berjalannya waktu, perasaan hampa akan mulai muncul. Setiap hari terasa berat dijalani meski dari luar orang melihatnya sudah berada di posisi yang mapan dan ideal. Dalam hati, anak merasa seperti hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain, bukan untuk dirinya sendiri.
Ketidakbahagiaan yang terus dipendam ini bisa berdampak serius pada kesehatan mental. Semangat bekerja perlahan memudar, produktivitas menurun, dan perasaan burnout menjadi lebih sering terjadi. Tak jarang, anak mulai mempertanyakan seluruh pilihan yang telah dibuatnya: apakah semua ini layak dipertahankan hanya demi membahagiakan orang lain? Ketika pekerjaan yang dijalani terasa tidak sesuai hati, konsekuensinya bisa sangat menguras emosi dan energi.
Kalau kamu pernah mengalami satu dari lima dilema ini, ingat bahwa kebahagiaan dan masa depanmu adalah tanggung jawabmu sendiri. Yuk, mulai berani membangun hidup yang kamu inginkan, tentu dengan tetap menjaga komunikasi sehat dengan orangtua.