5 Cara Mengajarkan Empati Anak yang Dominan di Lingkungan Sosial

Setiap anak punya kepribadian yang berbeda. Ada yang cenderung pendiam, ada juga yang aktif dan suka memimpin. Namun, jika anak terlihat terlalu dominan dalam pergaulannya, seperti selalu ingin menjadi pemimpin, suka mengatur permainan, atau kurang memberi ruang pada temannya, orang tua perlu mulai mengajarkan empati.
Dominan bukan berarti buruk. Tapi kalau tidak diimbangi dengan kepekaan terhadap perasaan orang lain, anak justru bisa tumbuh jadi pribadi yang sulit kerja sama. Kabar baiknya, empati bukan sesuatu yang harus dimiliki sejak lahir, tapi bisa dilatih dan dibentuk dari rumah. Berikut lima cara yang bisa orangtua lakukan untuk menanamkan empati pada anak yang cenderung dominan di lingkungan sosialnya. Simak, ya!
1. Ajak anak belajar mendengarkan, bukan hanya didengarkan

Anak yang dominan biasanya terbiasa menjadi pusat perhatian. Ia merasa lebih nyaman saat berbicara dibanding mendengarkan. Padahal, empati dimulai dari kemampuan mendengar dengan sungguh-sungguh. Anak perlu belajar bahwa setiap orang punya pendapat dan perasaan yang sama pentingnya. Satu cara yang bisa dilakukan adalah melatih mereka untuk menunggu giliran saat berbicara dan menyimak apa yang temannya katakan, tanpa langsung memotong atau mengganti topik.
Agar lebih mudah dipahami, orang tua bisa memainkan peran mendengarkan ini melalui aktivitas sederhana seperti bermain peran. Misalnya, satu anak jadi pendengar dan satu lagi sebagai pembicara. Setelah itu, tanyakan kepada anak, "Tadi temanmu cerita tentang apa, ya?" Aktivitas ini tidak hanya membantu anak menyimak, tapi juga menunjukkan bahwa mendengar adalah bentuk perhatian dan penghargaan terhadap orang lain.
2. Libatkan anak dalam kegiatan yang mengharuskan kerja sama
.jpg)
Anak yang terbiasa mengambil kendali dalam permainan atau kelompok biasanya sulit berbagi peran. Ia mungkin ingin segala sesuatunya berjalan sesuai caranya. Nah, kegiatan yang menuntut kerja sama, seperti bermain dalam tim atau mengerjakan proyek kelompok, dapat membantu anak belajar pentingnya mendengarkan pendapat orang lain dan berbagi tanggung jawab. Dalam situasi seperti ini, anak akan mengalami sendiri bahwa keberhasilan tidak hanya bergantung pada dirinya.
Selain itu, kegiatan kelompok bisa menjadi kesempatan untuk menunjukkan bahwa setiap anggota tim memiliki peran yang berharga. Orangtua dapat membantu anak merefleksikan pengalaman ini dengan pertanyaan seperti, "Tadi siapa yang membantu kamu saat kesulitan?" atau "Bagaimana rasanya kalau semua orang bekerja sama?" Dengan begitu, anak mulai menyadari bahwa menjadi bagian dari kelompok bukan hanya soal memimpin, tapi juga soal bekerja sama dan saling mendukung.
3. Gunakan situasi sehari-hari sebagai waktu untuk belajar empati
.jpg)
Empati bisa tumbuh dari hal-hal kecil yang terjadi setiap hari. Misalnya, ketika anak berebut mainan dengan temannya atau ketika temannya terlihat sedih. Orangtua bisa memanfaatkan momen ini untuk mengajak anak berpikir dari sudut pandang orang lain. Tanyakan secara lembut, "Kalau kamu yang sedang sedih seperti itu, kamu ingin temanmu melakukan apa?" atau "Bagaimana perasaan temanmu saat kamu ambil mainannya tanpa izin?"
Dengan cara ini, anak diajak untuk tidak hanya fokus pada keinginannya sendiri, tapi juga mempertimbangkan perasaan orang lain. Pertanyaan-pertanyaan reflektif seperti ini bisa membantu anak memahami bahwa tindakan mereka bisa berdampak pada orang lain. Semakin sering anak diajak berpikir seperti ini, semakin besar kemungkinan ia akan tumbuh jadi pribadi yang peduli dan peka terhadap lingkungan sosialnya.
4. Bacakan buku atau tonton film yang menggambarkan emosi dan perasaan
.jpg)
Cerita adalah sarana yang menyenangkan sekaligus efektif untuk mengajarkan empati pada anak, baik dalam bentuk buku maupun film. Lewat tokoh-tokoh dalam cerita, anak bisa belajar mengenali beragam perasaan, seperti senang, sedih, kecewa, marah, serta bagaimana cara tokoh-tokoh tersebut menghadapinya. Belajar empati lewat cerita ini juga membantu anak memahami bahwa semua orang punya emosi yang sah dan layak dihargai.
Setelah membaca atau menonton, ajak anak berdiskusi dengan pertanyaan sederhana seperti, "Menurut kamu, kenapa tokohnya marah?" atau "Apa yang bisa dilakukan supaya dia merasa lebih baik?" Obrolan seperti ini melatih anak untuk berpikir dari sudut pandang orang lain tanpa merasa digurui. Pilih cerita yang sesuai dengan usia anak dan memiliki nilai-nilai persahabatan, saling menghargai, dan kepedulian.
5. Tunjukkan empati lewat perilaku sehari-hari
.jpg)
Anak belajar empati bukan hanya dari teori, tapi juga dari contoh nyata yang mereka lihat setiap hari. Saat orangtua menunjukkan sikap empati, seperti mendengarkan dengan sabar, mengucapkan terima kasih, atau membantu orang lain tanpa diminta, anak akan menirunya secara alami. Anak adalah peniru ulung, dan apa yang mereka lihat dari orang terdekatnya akan membentuk karakter mereka dalam jangka panjang.
Jadi, penting bagi orangtua untuk menjadi role model dalam hal empati. Tunjukkan perhatian saat pasangan atau teman sedang kesulitan, ajak anak ikut serta saat membantu tetangga, atau beri respons hangat ketika anak sendiri sedang kesal. Semua itu akan mengajarkan anak bahwa menjadi peduli dan peka terhadap perasaan orang lain adalah hal yang wajar, bahkan menyenangkan.
Mengasuh anak yang dominan memang tidak gampang, tapi juga menyimpan potensi yang besar, lho. Anak seperti ini bisa tumbuh jadi pemimpin yang baik, asal dibarengi dengan empati dan kepedulian. Kalau kamu punya anak yang dominan seperti ini, yuk segera ajarkan tentang empati dan kepedulian supaya saat dewasa nanti anak bisa jadi orang yang bisa mendengarkan, memahami, dan menghargai orang lain!