Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Alasan Mengapa Ibu Tunggal Kerap Dipandang Sebelah Mata

ilustrasi ibu tunggal (pexels.com/Ksenia Chernaya)

Status sebagai ibu tunggal masih sering dibicarakan dalam bisik-bisik, seolah-olah sesuatu yang tabu untuk dibahas terbuka. Padahal, perempuan yang menjalani peran ini sama sekali tidak meminta kehidupan seperti itu datang menghampiri. Banyak dari mereka tetap berdiri tegak, bekerja keras, mengurus anak, dan menghadapi tekanan sosial dalam waktu yang bersamaan.

Namun, sayangnya, masih banyak masyarakat yang lebih cepat menilai dibanding memahami. Bahkan, tidak sedikit yang langsung mengaitkan status ini dengan kegagalan, tanpa tahu apa yang sebenarnya telah dihadapi. Pandangan sempit seperti ini sering membuat keberadaan ibu tunggal diposisikan dalam ruang yang terbatas. Untuk memahami lebih dalam soal ini, berikut beberapa alasan mengapa ibu tunggal kerap dipandang sebelah mata

1. Masyarakat sering menilai dari status, bukan perjuangan

ilustrasi ibu tunggal (pexels.com/Ron Lach)

Label “janda” masih menjadi beban sosial bagi banyak perempuan, seolah identitas itu saja cukup untuk menggambarkan keseluruhan hidupnya. Padahal, setiap ibu tunggal punya cerita berbeda ada yang berjuang keluar dari kekerasan, ada pula yang kehilangan pasangan karena takdir. Namun yang dilihat masyarakat sering kali hanya satu yakni status.

Penilaian berdasarkan status semacam ini membuat ibu tunggal harus membuktikan dua kali lebih banyak hal daripada perempuan lain. Mereka bukan hanya mencari pengakuan sebagai ibu yang baik, tapi juga sebagai individu yang layak dihormati. Sayangnya, masyarakat masih cenderung merasa berhak ikut campur dalam hidup mereka. Padahal, yang mereka butuhkan justru ruang aman dan dukungan, bukan penilaian. Perspektif sempit ini harus diubah, mulai dari lingkup terkecil.

2. Tekanan sosial datang dari lingkungan terdekat

ilustrasi ibu tunggal (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Lingkungan sekitar sering menjadi sumber tekanan yang paling nyata bagi seorang ibu tunggal. Entah dari tetangga, saudara, bahkan teman dekat, semuanya bisa menaruh pandangan tertentu tanpa benar-benar tahu apa yang sedang dihadapi. Komentar seperti “kenapa tidak bertahan?” atau “seharusnya bisa sabar” sering terdengar ringan, tapi menyakitkan bagi yang menjalaninya.

Alih-alih mendapatkan dukungan emosional, banyak ibu tunggal justru merasa dijauhi atau dianggap ancaman. Ada yang menilai mereka sebagai pihak yang gagal menjaga rumah tangga, seolah itu sepenuhnya kesalahan pribadi. Padahal, menjaga diri dan anak-anak tetap bertahan adalah bentuk keberanian yang luar biasa. Tekanan sosial semacam ini bisa menggerus kepercayaan diri jika tidak ada ruang untuk mengungkapkan cerita sebenarnya.

3. Kehidupan pribadi sering kali dianggap konsumsi publik

ilustrasi ibu tunggal (pexels.com/Gustavo Fring)

Setelah menyandang status ibu tunggal, kehidupan pribadi seseorang seolah menjadi milik orang banyak. Segala keputusan yang mereka ambil sering kali dikomentari, bahkan disalahkan. Mulai dari bagaimana membesarkan anak, memilih pasangan baru, hingga pilihan berpakaian, semua bisa menjadi topik pembicaraan.

Dalam posisi seperti itu, banyak ibu tunggal merasa tidak punya ruang untuk menjadi diri sendiri. Mereka harus berhati-hati dalam bersosialisasi, bahkan dalam hal-hal sederhana seperti bergaul atau sekadar keluar rumah. Ketakutan akan penilaian dari orang lain membuat hidup sebagai seorang ibu tunggal menjadi serba terbatas. Padahal, mereka berhak menjalani hidup seperti siapa pun yang lain, tanpa harus terus dibayangi oleh ekspektasi sosial yang kaku.

4. Pekerjaan ganda sering dianggap beban pribadi

ilustrasi ibu tunggal (pexels.com/Gustavo Fring)

Menjadi ibu tunggal berarti harus menjalani dua peran sekaligus yakni sebagai pencari nafkah dan pengasuh. Namun, perjuangan ini jarang dipandang sebagai bentuk kekuatan tapi justru banyak yang menganggap kondisi tersebut sebagai konsekuensi dari keputusan pribadi. Ini menciptakan tekanan tambahan, karena seolah mereka harus selalu kuat tanpa keluhan.

Faktanya, ibu tunggal sering kali mengalami kelelahan fisik dan mental yang tinggi, tapi tidak semua memiliki akses untuk memperoleh dukungan profesional. Tidak semua mendapat cuti yang memadai, tidak semua punya keluarga yang bisa membantu. Beban pekerjaan yang berlapis-lapis ini harus ditanggung sendiri. Sayangnya, sebagian orang justru menganggapnya sebagai hal wajar dan tidak perlu dibantu.

5. Representasi di media massa masih memperkuat stereotip

ilustrasi ibu tunggal (pexels.com/Elina Fairytale)

Media massa sering kali menampilkan sosok ibu tunggal dalam narasi yang sempit yakni sedih, putus asa, atau sebagai “korban”. Gambaran seperti ini memperkuat anggapan bahwa menjadi ibu tunggal adalah hidup yang menyedihkan dan tidak lengkap. Padahal, kenyataannya sangat beragam. Banyak ibu tunggal yang justru merasa lebih utuh dan berdaya setelah keluar dari hubungan yang tidak sehat.

Ketiadaan representasi positif membuat masyarakat terus terjebak dalam citra yang keliru. Padahal, ibu tunggal juga bisa menjadi pemimpin, pengusaha, guru, atau siapa pun yang ingin mereka inginkan. Mereka bukan tokoh pendukung dalam cerita orang lain. Mereka tokoh utama dalam kisah hidupnya sendiri. Representasi yang adil dan lengkap di media akan sangat membantu dalam mengubah cara pandang dalam masyarakat.

Menjadi ibu tunggal bukanlah jalan mudah dan perjuangan mereka sering kali tak pernah dilihat bahkan tersembunyi di balik senyum yang dipaksakan. Banyak tantangan yang dihadapi, mulai dari stigma sosial hingga tekanan ekonomi, yang jarang mendapatkan perhatian serius. Sudah waktunya masyarakat berhenti menilai berdasarkan status dan mulai mendengar lebih banyak perjuangan ibu tunggal dengan empati.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us