Pemedal Agung di pusat Kota Semarapura merupakan situs yang masih berdiri kokoh di Klungkung. Dahulu bangunan berupa candi itu merupakan pintu masuk menuju Puri Klungkung. Bangunannya menjadi saksi bisu Perang Puputan, atau perang habis-habisan di Klungkung pada tanggal 28 April 1908 silam.
Bermula dari patroli keamanan kolonial di wilayah Kerajaan Klungkung sejak 13-16 April 1908. Para keluarga kerajaan dan rakyat tidak terima. Karena kolonial dianggap melanggar kedaulatan kerajaan. Tanpa ada perasaan takut, Kerajaan Klungkung tidak segan menyerang pasukan patroli Belanda di Desa Gelgel dan menewaskan pemimpinnya, Letnan Haremaker.
Tidak terima atas sikap Klungkung, Belanda memberikan ultimatum Kerajaan Klungkung segera tunduk. Namun ultimatum kala itu hanya dianggap angin lalu oleh sang Raja Dewa Agung Jambe.
Tanggal 21 April 1908 sampai enam hari berikutnya, Belanda membombardir Kerajaan Klungkung. Rakyat yang hanya bersenjata keris dan tombak terus memberikan perlawanan. Hingga puncaknya tanggal 28 April 1908, Belanda berhasil menembus pertahanan Kerajaan Klungkung dan merangsek masuk ke dalam istana, tepatnya di depan Pemedal Agung. Semua rakyat berpakaian putih mengorbankan jiwa raga untuk puputan (Bertempur habis-habisan) di depan istana kerajaan.
Tidak hanya rakyat, keluarga kerajaan hingga putra mahkota kala itu yang masih anak-anak, Ida I Dewa Agung Gede Agung, ikut keluar istana untuk bertempur dan gugur bersama kerabat kerajaan lainnya.
Pada saat itulah sang Raja Dewa Agung Jambe juga melaksanakan dharmaning ksatria, yaitu kewajiban tertinggi seorang kesatria sejati. Ia keluar istana, ikut pertempuran dan gugur bersama rakyatnya di depan Pemedal Agung. Dengan ditaklukannya Klungkung, seluruh Bali menjadi wilayah kekuasaan Belanda. Klungkung juga menjadi satu wilayah yang paling sulit dan terakhir ditaklukkan di Indonesia.