Tanaman Upakara Hindu di Bali yang Mulai Jarang Ditemui

Perputaran upakara di Bali senantiasa berlanjut dan membutuhkan sumber daya alam maupun sumber daya manusia untuk membuat banten (sesajen). Sesajen ini ada beragam jenis, tergantung peruntukan yadnya (persembahan suci). Tumbuhan atau tanaman adalah hal materiel penting untuk membuat sesajen.
Ada beberapa sumber lontar yang memuat penggunaan tanaman dalam upakara. Namun, sebagai pengetahuan dasar jenis dan khasiat tanaman tertuang dalam Lontar Taru Pramana. Lontar tersebut memuat sekitar 168 nama tumbuhan di Bali yang disusun oleh pangawi. Sedangkan panduan membuat sesajen upacara tertuang dalam Lontar Yama Purwana Tattwa.
Ada beberapa tumbuhan untuk upakara yang mulai jarang ditemui karena habitatnya tidak sesuai hingga sulit dibudiayakan. Penyebab lainnya karena digantikan oleh tanaman yang dianggap ada nilai ekonomisnya.
1. Bunga Kasna
Padang Kasna adalah lokasi ditanamnya Bunga Kasna. Bunga ini diyakini oleh masyarakat Bali sebagai anugerah dari Ida Betara yang berstana di Gunung Agung. Bunga Kasna hanya bisa tumbuh di Temukus, sebuah Desa di Kabupaten Karangasem. Menjelang Hari Raya Galungan dan Kuningan, bunga dipanen setiap enam bulan sekali.
Pada 2021 lalu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karangasem mengeluarkan Surat Edaran (SE) Bupati Karangasem tentang pelestarian Bunga Kasna atau Bunga Edelweiss. Surat edaran tersebut sejalan dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 29 Tahun 2020 Tentang Pelestarian Tanaman Lokal Bali sebagai Taman Gumi Banten, Puspa Dewata, Usada, dan Penghijauan. Pergub itu menjadi dasar yang melibatkan seluruh pihak untuk melindungi, membudidayakan, serta melestarikan tanaman lokal Bali.
2. Pohon Malaka
Pohon Malaka, Melaka atau Kemloko yang dalam bahasa latin disebut sebagai Phyllanthus emblica adalah nama sejenis pohon dan buah yang masih berkerabat dekat dengan ceremei. Konon dari nama tumbuhan inilah asal usul nama Kesultanan Melaka yang menguasai semenanjung Malaysia dan pesisir timur Sumatera pada 1402–1511 M.
Aneka bagian tumbuhan, termasuk pepagan, akar, daun, bunga, buah, dan biji digunakan dalam pengobatan tradisional. Terutama di India, Buah Malaka merupakan unsur penting dalam pengobatan Ayurveda. Buah ini mengandung banyak Vitamin C, dan tanin. Ekstrak Buah Malaka digunakan sebagai bahan pewarna tradisional.
3. Pohon Buni
Buahnya bergerombol dan ketika matang berwarna merah pekat rasanya manis. Namun, jika belum matang, warnanya hijau dan terasa asam. Pohon yang juga disebut sebagai Buni ini memiliki tinggi sekitar 15–30 meter.
Dengan keberadaannya yang mulai langka karena tidak banyak yang mengetahui kehadirannya, sebenarnya buah ini menyebar luas di beberapa Negara Asia Tenggara dan Australia. Untuk sesajen Boni digunakan sebagai palas dalam perlengkapan banten.
4. Pohon Rejasa
Rejasa (Elaeocarpus grandiflorus J. E. Smith) merupakan flora identitas Kota Salatiga. Beberapa daerah di Bali jarang ditemui tumbuhan ini. Dalam dunia upakara di Bali, tanaman ini digunakan untuk isi banten tetukon dalam upacara pitra yadnya (upacara kematian).
Peneliti rejasa dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Fazlur Rahman, mengatakan rejasa tergolong sebagai flora yang terancam punah pada skala lokal. Satu faktor yang dapat menyebabkan kepunahan yaitu kondisi kesehatan.