Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi Bali (unsplash.com/Ruben Hutabarat)
ilustrasi Bali (unsplash.com/Ruben Hutabarat)

Isu transmigrasi di Bali kembali muncul setelah Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, meminta warga Bali bertransmigrasi ke luar pulau. Hal itu disampaikan Nusron pada Rabu, 26 November 2025 lalu dalam sambutan Rapat Koordinasi Akhir Gugus Tugas Reforma Agraria di Kantor Gubernur Bali. Intinya, lewat sambutan itu, Nusron meminta warga Bali bersiap pindah ke luar Pulau Bali. 

Kata Nusron, ada beberapa lokasi yang jadi tempat pindah warga Bali untuk mengelola lahan pertanian, mulai dari Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, dan Papua. Lalu, gimana sebenarnya sejarah transmigrasi warga Bali, dan di mana saja lokasinya? Baca selengkapnya di bawah ini.

Transmigrasi warga Bali ke sejumlah daerah di Indonesia

ilustrasi hutan Kalimantan (unsplash.com/Polina Koroleva)

Ada berbagai tujuan wilayah transmigran Bali. Pertama, ada Lampung. Pada 1956, warga Bali pindah untuk menetap di Lampung. Kata penyelenggara negara kala itu, tujuannya untuk mengurangi kepadatan penduduk di Bali.

Pada 1963, warga Bali yang terdampak letusan Gunung Agung terpaksa pindah ke Lampung. Mereka berasal dari berbagai kabupaten seperti Karangasem, Tabanan, dan Klungkung. Selain Lampung, wilayah Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara juga menjadi tempat warga Bali bertransmigrasi. Warga Bali pindah ke wilayah Konawe Selatan sekitar tahun 1968. Gak hanya Lampung dan Sulawesi Tenggara, warga Bali juga pindah ke wilayah lain seperti Kalimantan.

Pada masa itu, wilayah hutan mulai beralih fungsi sebagai lahan pertanian. Pohon-pohon besar mulai ditebang, menjadi lahan bertani hingga rumah warga. Selain warga Bali, warga dari Jawa juga mengikuti program transmigrasi.

Sebagian besar bekerja di sektor pertanian, berkaitan dengan revolusi hijau zaman orba

ilustrasi pertanian (unsplash.com/Vladimir Kudinov)

Perpindahan warga Bali ke pulau lainnya di Indonesia gak hanya bermuara pada isu kepadatan penduduk. Rezim orde baru (orba) masa penguasaan Soeharto, menggunakan transmigrasi sebagai cara mengembangkan ambisi revolusi hijau.

Sekilas informasi, revolusi hijau masa itu dikenal dengan sebutan Panca Usaha Tani. Katanya sih, esensinya adalah modernisasi dan pemajuan pertanian di Indonesia. Jika melihat dari permukaan sekilas, gak ada masalah dari tujuan revolusi hijau masa orba.

Namun, mengutip penelitian Greg Fanslow bertajuk Kemakmuran, Polusi, dan Revolusi Hijau, pengembangan pertanian masa orde baru sarat akan kepentingan politik dan pemaksaan. Petani yang tidak menuruti akan mendapat label sebagai PKI. Mereka juga mulai diperkenalkan pupuk kimia, secara kuantitas meningkatkan hasil panen, tapi dampak kerusakan tanah tidak dapat terelakkan.

Masalah lain yang dihadapi saat ini akibat revolusi hijau adalah redupnya sumber karbohidrat dari pangan lokal. Singkong, sagu, dan sejenisnya kalah pamor dibandingkan beras.

Tidak mudah jadi transmigran, ada yang kembali ke Bali berjuang meraih kepastian

Ni Made Indrawati sebagai Komite Pembaruan Agraria (KPA) Bali. (IDN Times/Yuko Utami)

Kehidupan jadi transmigran Bali gak mudah, mereka berangkat dalam bayang-bayang ketidakpastian serta konflik. Misalnya eks transmigran Timor Timur (TimTim) yang kala itu diminta pindah ke Timor Timur dan mengembangkan pertanian. Namun, pada masa itu, konflik tak terelakkan. Mereka hidup dalam ketakutan. Sampai akhirnya Timor Timur menjadi negara baru bernama Timor Leste tahun 1999.

Transmigran Bali yang berharap dapat memulai hidup baru, harus kembali ke Bali. Tapi nasib mereka tidak jauh lebih baik. Eks transmigran TimTim kesulitan mendapat hak atas tanah, dan hidup jadi petani penggarap di lahan kering Sumberklampok, Kabupaten Buleleng. Kegagalan panen di depan mata, akses air sulit. Berdasarkan laporan Komite Pembaruan Agraria (KPA) Bali, sekitar 25 tahun lebih mereka memperjuangkan hak atas tanah. Sertifikat akhirnya didapatkan warga, meskipun bayang-bayang kekeringan masih menyertai.

Editorial Team