Warga bergotong-royong mempersiapkan upacara piodalan di Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya. (YouTube.com/Adi_Tombong Bali Chanel)
Proses pembangunannya menggunakan konsep yang berbeda, namun tetap menghormati konsep pura dari para pendahulu. Konsep yang berbeda tersebut dapat dilihat dari bangunan beberapa pelinggih sebagai simbol Sad Kahyangan, yaitu:
- Pelinggih Pemayun Agung yaitu sebagai manifestasi / pengayatan ke Pura Besakih dan Gunung Agung
- Pelinggih Manik Geni sebagai manifestasi atau pengayatan ke pura Lempuyang
- Pelinggih Pemayun Toya sebagai manifestasi atau pengayatan ke Pura Batur
- Pelinggih Pemayun Cakra sebagai manifestasi atau pengayatan ke Pura Batukaru
- Pelinggih Pemayun Ngurah Agung sebagai manifestasi atau pengayatan ke Pura Uluwatu
- Pelinggih Pemayun Putra sebagai manifestasi atau pengayatan ke Pura Sakenan.
Karena pemujaan Sad Kahyangan terpusat menjadi satu, maka pura ini kemudian diberi nama Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya. Mutering memiliki makna pusat, Jagat berarti alam atau dunia, sedangkan Dalem Sidakarya adalah gelar dari Brahmana Keling.
Untuk menghormati jasa Brahmana Keling, Raja Dalem Waturenggong mengeluarkan sabda bahwa setiap masyarakat yang akan menggelar upacara besar wajib nuur atau nunas tirta di pura ini, dan menggelar pementasan Tari Topeng Dalem Sidakarya agar upacara dapat berjalan lancar.
Piodalan di Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya jatuh pada hari Sabtu, Saniscara Kliwon Wuku Landep, atau bertepatan dengan Hari Tumpek Landep. Selama piodalan di pura ini, biasanya akan dipentaskan sebuah tari sakral bernama Tari Telek, yang diikuti dengan Ida Sesuhunan berwujud Barong dan Rangda mesolah napak pertiwi (Menari).