Sejarah Pura Gunung Payung di Lereng Bukit Bali Selatan

Kamu pasti melihat banyak pura di Bali yang berdiri di lereng perbukitan atau gunung. Pemandangan alamnya bahkan sangat luar biasa. Sebut saja pura yang paling populer di Kecamatan Kuta Selatan, Pura Uluwatu, juga berdiri di lereng bukit. Ternyata selain Pura Uluwatu, juga ada pura lain yang berdiri di lereng bukit. Yaitu Pura Gunung Payung.
Lokasinya tidak terlalu jauh dari Pura Uluwatu, tepatnya di Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Berikut sejarah Pura Gunung Payung, yang dikutip dari Jurnal Widya Winayata berjudul Studi Sejarah Pura Gunung Payung Sebagai Sumber Belajar Sejarah di SMA.
1. Pura Gunung Payung berkaitan dengan perjalanan suci Dang Hyang Nirartha
Pura yang berdiri kokoh dan megah di ujung selatan Pulau Bali ini memiliki sejarah panjang, berkaitan dengan perjalanan suci Dang Hyang Nirartha atau Dang Hyang Dwijendra. Selepas dari Pura Uluwatu, Dang Hyang Nirartha melanjutkan perjalanan dan tiba di sebuah desa yang sekarang bernama Desa Kutuh. Dang Hyang Nirartha bersama pengikutnya memutuskan beristirahat di tempat tersebut.
Masyarakat yang mengetahui kedatangan rombongan pendeta suci ini, kemudian memohon tuntunan kerohanian dan berkat dalam kehidupan mereka. Sebab desa tersebut sedang dilanda kekeringan. Dang Hyang Nirartha lalu menancapkan gagang payungnya ke tanah. Secara ajaib, di tempat tersebut muncul mata air yang jernih dan menyegarkan.
Air ini diyakini sebagai air suci oleh masyarakat setempat. Dang Hyang Nirartha saat itu meminta kepada masyarakat untuk menjaga air suci dan tempat tersebut dengan membangun sebuah pura. Pura ini kemudian diberi nama Pura Gunung Payung, karena berkaitan dengan kisah kemunculan mata air suci dari gagang payung Dang Hyang Nirartha.
Pengunjung masih bisa menjumpai sumber mata air suci tersebut di pura ini. Piodalan (perayaan hari lahir tempat suci) atau upacara di Pura Gunung Payung jatuh setiap Hari Purnama Kawulu (bulan kedelapan dalam kalender Bali).