Sebelum Belanda kembali, Bali sebenarnya masih dikuasai oleh Jepang. Saat itu, pihak Jepang masih menempati tempat-tempat strategis di Bali. Untuk mengusir Jepang, Ngurah Rai melakukan sejumlah serangan seperti yang terjadi pada tanggal 13 Desember 1945 pukul 24.00, di bawah komando Resimen TKR Sunda Kecil.
Gerakan tersebut maksudnya adalah ingin melucuti dan mengambil persenjataan yang dimiliki oleh Jepang. Pasalnya, Jepang saat itu sudah dalam keadaan menyerah kepada Sekutu.
Namun bukannya menyerah, Jepang semakin menguatkan kesiapsiagaannya. Bahkan beberapa kali mampu memukul mundur serangan-serangan yang dilancarkan pasukan Ngurah Rai.
Setelah itu, Ngurah Rai lantas berinisiatif meminta bantuan amunisi dan senjata kepada Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang berada di Jogjakarta. Ia di Jawa tepat pada tanggal 1 Januari hingga 4 April 1946.
Setelah bantuan didapat, Ngurah Rai kembali ke Bali dan tiba pada tanggal 5 April 1946. Ternyata saat itu Jepang sudah menyerah dan Belanda telah kembali untuk melakukan penjajahan. "Pasukan Belanda ini mendarat di Sanur," katanya.
Sekembalinya dari Jawa, pasukan Ngurah Rai ternyata tercerai berai. Setelah itu, ia mengadakan rapat dan bersepakat mendirikan DPRI (Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia) Sunda Kecil yang berkedudukan di Munduk Malang, Desa Dalang, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan.
DPRI Sunda Kecil merupakan gabungan antara militer dengan pemuda yang sering ikut berjuang atau yang dikenal dengan sebutan Tentara Rakyat. Pembentukan ini sesuai dengan arahan dari markas besar Tentara Republik Indonesia (TRI) yang dulunya bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Mulai dari sinilah pertempuran di Bali mengenyahkan Belanda semakin menggebu-gebu. Sampai Belanda kewalahan menghadapi pejuang di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai.