Karena menjaga tradisinya, pada tahun 1993 Desa Penglipuran ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bangli sebagai desa wisata. Awalnya memang tak seramai sekarang. Namun sejak tahun 2010, jumlah kunjungan terus mengalami peningkatan.
Pada tahun 2010, setiap harinya jumlah wisatawan mencapai 400 orang. Jumlah tersebut terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2017, jumlah rata-rata wisatawan yang mengunjungi Desa ini mencapai 500 wisatawan. Meningkat menjadi 600 orang per harinya pada tahun 2018. Sementara selama momen libur panjang Nataru, per harinya bisa mencapai 1500 hingga 2 ribu orang.
Dengan menjadi desa wisata, Wayan Supat tentu mengaku bersyukur. Sebab bisa membuat pendapatan warga desanya menjadi meningkat. Dulu warga desanya hanya mengandalkan pertanian, kini bisa memperoleh pendapatan tambahan.
"Mata pencahariannya penduduk kami memang heterogen. Tapi rata-rata bertani. Astungkara walaupun cita-cita leluhur kami bukan menjadikannya desa wisata, namun setelah dijadikan desa wisata kami bersukur ada mata pencaharian baru, yakni di bidang kreativitas atau kerajinan, menjual suvenir," katanya.
Ia bercerita, sejak tahun 2012 masyarakat Desa Penglipuran tak hanya jadi objek namun menjadi subjek. Hal tersebut dalam rangka pemberdayaan masyarakat dengan melibatkannya secara langsung sebagai pelaku pariwisata.
"Wisata kami berbasis kerakyatan. Misalnya, masyakat boleh menjadikan rumahnya sebagai penginapan. Yang penting bersih dan memenuhi syarat-syarat kesehatan," jelasnya.
Untuk diketahui, Desa Penglipuran terdiri dari 243 kepala keluarga dengan jumlah penduduk 1015 jiwa. Luasnya diperkirakan mencapai sekitar 112 hektar.