Sanksi adat kasepekang (Dikucilkan) untuk masyarakat di Bali kerap menuai kontroversi. Terlebih ketika sudah masuk dalam ranah persoalan penguburan jenazah dan atau penggunaan setra (kuburan). Berbagai anggapan muncul, bahkan ada pula penilaian bahwa sanksi kasepekang ini ternyata tidak menyelesaikan masalah, melainkan justru menimbulkan masalah-masalah baru lainnya.
Apa sesungguhnya kasepekang itu? Sanksi adat kasepekang merupakan pemberhentian sementara sebagai anggota banjar dan desa pakraman, sehingga yang terkena sanksi kasepekang tidak berhak mendapatkan penyanggran (Pelayanan atau bantuan) banjar dan desa pakraman, yang ditandai dengan tidak mendapatkan arah-arahan (Suara kulkul). Sementara itu, ada pula istilah kanorayang yakni warga yang diberhentikan secara permanen sebagai krama banjar dan desa pakraman. Sehingga segala hak yang sebelumnya didapat dari banjar dan desa pakraman menjadi gugur.
Agar tidak keliru memahami tentang sanksi kasepekang ini, kamu bisa menyimak isi lengkapnya dalam penjelasan di bawah ini. Adapun penjabaran ini berdasarkan Keputusan Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali yang ditentukan di Kota Denpasar pada Jumat 15 Oktober 2010.
Pihak yang menandatangani adalah Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali yakni Bendesa Agung, Jero Gede Putu Suwena Upadesa SH, dan Penyarikan Agung, I Ketut Sumarta.