ilustrasi wilayah Timor Leste setelah pisah dari Indonesia (cdc.gov)
Kejatuhan Soeharto pada 1998 telah mengobarkan konflik berdarah di Aceh dan Timor Timur (resmi berpisah dan merdeka dari Indonesia pada tahun 2002 dan kini bernama negara Timor Leste). Asia Justice and Rights (AJAR) menerbitkan laporan pemantauan kekerasan di dua wilayah tersebut yang bertajuk Mengenang yang Tercinta, Menghapus Luka: Upaya Para Korban Kekerasan Mengumpulkan Foto dan Cerita Demi Perubahan (2013).
Laporan tersebut merupakan hasil kerja sama antara AJAR dengan K2HAU (Keluarga Korban Pelanggaran HAM Aceh Utara), Keluarga Ureung Gadoh atau Keluarga Orang Hilang (Kagundah) di Aceh, dan Asosiasi Nasional Korban di Timor-Leste (ANV).
Pada saat referendum berlangsung untuk penentuan nasib sendiri rakyat Timor Timur, tepatnya 30 Agustus 1999, di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), pemerintah Indonesia memasifkan opresi militer, baik secara klandestin di perkotaan dan/atau mempersenjatai sipil di setiap distrik. Operandi tersebut dilakukan agar masyarakat Timor Timur tetap menyatu dengan Indonesia. Akibatnya, lebih dari 1.400 warga sipil terbunuh.
Sejalan dengan tuntutan kemerdekaan Timor Leste atas Indonesia, tahun 1975, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menuntut independensi wilayah Aceh. Pada tahun 1989, pemerintahan Soeharto menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Komisi Independen untuk Penyelidikan mengenai Kekerasan di Aceh (KPTKA), DOM dan Tragedi Kemanusiaan di Aceh: Portret Tindak Kekerasan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh: Ringkasan Eksekutif, (2000), sedikitnya terdapat 7.000 pelanggaran HAM selama DOM berlangsung. Pasca bencana tsunami Aceh di tahun 2004, GAM dan pemerintah Indonesia menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki.
Beatriz Miranda, penyintas perbudakan seksual, memberikan kesaksian kepada Commission for Reception, Truth and Reconciliation in East Timor (CAVR) pada tahun 2003. Pada tahun 1990, Beatriz dipaksa untuk menikahi tiga tentara. Dari tiga pernikahan tersebut, Beatriz melahirkan dua orang anak.
Sementara Mariana, perempuan Aceh yang dijadikan objek seksual oleh serdadu Indonesia selama bertahun-tahun. Bahkan saat dia sedang merawat sang anak, tentara memaksa Mariana datang ke pos militer dan diperkosa secara bergilir. Selama perbudakan seksual berlangsung, ia juga tak jarang mengalami kekerasan fisik seperti disetrum dan dipukul.