Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Dewa Kwan Kong sebagai dewa yang melambangkan kejujuran dan kesetiaan. (IDN Times/Yuko Utami)

Kelenteng dan wihara, sekilas mungkin sulit menemukan perbedaan keduanya. Menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kelenteng adalah bangunan tempat memuja (berdoa, bersembahyang) dan melakukan upacara keagamaan bagi penganut Konghucu.

Sementara, wihara bermakna sebagai rumah ibadah umat Buddha berukuran sedang dan lebih besar dari cetiya. Definisi menurut KBBI juga menambahkan, wihara memiliki beberapa sarana dan prasarana, seperti candi, kuti, dan darmasala.

Lalu, apa definisi itu cukup membedakan keduanya, atau sebenarnya kelenteng dan wihara saling beririsan? Berikut ini perbedaan Kelenteng dan Wihara berdasarkan sejarah, selengkapnya.

1. Masa orde baru Konghucu dilarang, kelenteng kena imbasnya

Selain Panikam, beberapa pemeluk Hindu juga bekerja di Kelenteng Pak Ti Hut Co Jalan Sunggal Medan, Selasa (28/1/2025) (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Berdasarkan Jurnal Ilmiah berjudul “Kelenteng: Benteng Terakhir dan Titik Awal Perkembangan Kebudayaan Tionghoa di Indonesia”, ada sejumlah sejarah suram kelenteng di masa orde baru. Pada masa itu, ajaran Konghucu dan Taoisme dilarang, akibatnya kelenteng sebagai tempat ibadah ikut jadi sasaran. 

Sebagian besar kelenteng harus berubah menjadi wihara, yang merupakan tempat sembahyang agama Buddha. Masa itu, ajaran Konghucu dan Taoisme dianggap sebagai sampingan saja, harus berlindung di balik agama Buddha. Beberapa kelenteng sebelumnya tidak menganut ajaran Buddha. Pada masa itu mencari keselamatan dengan memasukkan arca dari ajaran Buddha.

Konstruksi bangunan kelenteng turut terdampak. Tidak ada yang berani membangun, memperluas bangunan, maupun memperbaiki kerusakan kelenteng. Kalaupun hal itu dilakukan, pasti secara sembunyi-sembunyi. Imbasnya, hingga tahun 1997 ada banyak bangunan kelenteng dalam kondisi mengenaskan.

2. Sejarah singkat wihara di Indonesia dan kelenteng sebagai benteng budaya

Editorial Team

Tonton lebih seru di