Membedakan Awig-Awig dan Pararem di Bali

Adanya hukum adat merupakan keistimewaan desa adat untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Negara Indonesia telah mengakui masyarakat adat di Pasal 18 B Ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Hukum adat dikualifikasikan sebagai hukum tidak tertulis, seperti dirumuskan dalam kesimpulan Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta, 17 Januari 1975.
Satu kesimpulan seminar tersebut menyatakan bahwa hukum adat adalah “...hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana sini mengandung unsur agama.”
Bali memiliki beragam adat dan istiadat, termasuk hukum adatnya yang telah ada sejak zaman dahulu. Desa adat di Bali memiliki berbagai macam hukum adat baik tertulis maupun tidak tertulis. Berikut pengertian awig-awig dan pararem yang merupakan jenis hukum adat di Bali.
1. Mengenal awig-awig

Tiap desa adat di Bali mempunyai aturan (tertulis maupun tidak tertulis) yang berlaku bagi semua masyarakat. Bentuk aturan ini disebut dengan awig-awig. Awig-awig lekat dengan persoalan dalam segi lahir dan batin masyarakat adat, serta untuk mengatur secara horizontal hubungan masyarakat, mengatur vertikal masyarakat secara individual, atau kelompok kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
Secara garis besar, awig-awig merupakan aturan yang dibuat oleh bendesa adat beserta pengurus desa sebagai alat untuk mengatur tingkah laku masyarakat di desa adat berdasarkan rasa keadilan. Selain itu, awig-awig dapat pula difungsikan untuk mengintegrasikan masyarakat dalam satu persatuan dan kesatuan yang hidup bersama sepenanggungan dan seperjuangan.
2. Pararem di Bali

Pararem hadir sebagai peraturan pelaksana dari adanya awig-awig dalam satu kawasan desa adat di Bali. Meskipun merupakan produk hukum adat di Bali, tetapi pararem lahir dalam bentuk yang telah tertulis bahkan diketik secara rapi. Hal ini termasuk kemajuan peradaban, khususnya dalam suatu desa adat. Sebab apabila ditarik ke belakang dari definisi, hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis.
Pararem mengikuti perubahan masyarakat melalui putusan-putusan dalam sebuah paruman atau rapat adat, sehingga sifatnya dinamis. Pasal 1 angka 30 Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali mendefinisikan pararem sebagai aturan atau keputusan paruman desa adat sebagai pelaksanaan awig-awig atau mengatur hal-hal baru dan/atau menyelesaikan perkara adat/wicara di desa adat.
Terdapat tiga jenis pararem di antaranya:
- Pararem penyacah awig, yaitu keputusan-keputusan paruman yang merupakan aturan pelaksanaan dari awig-awig
- Pararem ngele atau pararem lepas, yaitu keputusan paruman yang merupakan aturan hukum baru yang tidak ada landasannya dalam awig-awig, tetapi dibuat untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat
- Pararem penepas wicara, berupa keputusan paruman (rapat atau pertemuan masyarakat adat di Bali) mengenai suatu persoalan hukum tertentu, baik yang berupa sengketa maupun pelanggaran hukum.
3. Fungsi hukum adat di Bali

Berdasarkan kepustakaan hukum adat, hukum adat juga diartikan sebagai kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang. Hukum adat meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Meskipun sebagian besar tidak tertulis, hukum adat ditaati dan dihormati oleh masyarakat adat karena mempunyai akibat hukum atau sanksi.
Oleh karenanya, desa adat dengan kesatuan masyarakat hukum adat ini memiliki otonomi, yang secara khusus mengatur pemerintahan desa adat itu sendiri berdasarkan kebiasaan atau ketentuan. Fungsi hukum adat sebagai instrumen penanganan masalah desa adat di Bali, baik terhadap masyarakat adatnya sendiri maupun dalam konteks penduduk pendatang. Aturan adat juga berfungsi sebagai upaya pencegahan terhadap penanganan persoalan-persoalan di masyarakat.